BH Ibu Kost

Di suatu hari pas siang yang terik (lupa hari, tanggal dan tahunnya), saya harus pulang ke kos di daerah Klebengan Lor (utara fakultas peternakan..selokan mataram) untuk ambil barang-barang dalam rangka kegiatan Caving. Pulang ke kost pake motor GL pinjeman punya Agung 89 dan pake ransel nya Ichal 88.

Depan kamar kos kebetulan juga area jemuran dan saat itu tentu masih banyak jemuran karena masih siang. Setelah barang-barang sudah dimasukkan ke ransel, motorpun siap kembali ke Sekretariat dengan rute zig-zag dibawah jemuran.

Setelah sampai di parkiran motor fakultas, saya berjalan ke sekret sambil memakai ransel. Entah kenapa orang-orang di sekitar pada ketawa, dan setelah saya cek ternyata ada BH hitam bergelayutan di ujung frame kanan atas ransel (kebetulan frame body belakang ransel nongol keluar karena sobek ujungnya).

Sayapun tersipu malu (ehem) dan cuma bisa membayangkan betapa senang dan bangganya BH bu kostku naik motor GL dan berkibar-kibar masuk ke kampus UGM. Kebetulan BH bu kostku masih model jadul, berwarna hitam dan ada jahitan melingkar sampai ujungnya sekilas mirip tameng romawi. Selanjutnya sudah bisa ditebak, guyon anak-anak Palapsi, dan oleh Danang 89, BH ditempel di plafon sekretariat Palapsi sebagai kenangan.

Golis – 88

Kelinci, Perempuan, Cemara

Saya sudah lupa terjadi tahun berapa, di satu titik di atas Kaliurang. Saat itu kami anak2 Palapsi mengadakan acara kemah santai di sana. Untuk menciptakan suasana berbeda dengan kemping2 sebelumnya, alm. Eko salah satu kerabat kami, membawa beberapa ekor kelinci. Untuk lucu2an? Jelas tidak, buat disembelih dan dipanggang di sana. Hawa dingin, makan panggang kelinci, tentu lezat bukan? Itulah pemikiran sederhana kami, namun berujung kepada masalah saat acara bakar kelinci mau dimulai. Ga ada yang mau menjagalnya dengan beragam alasan. Tak sabar melihatnya dan perut sudah lapar pula, saya langsung memajukan diri untuk menyembelihnya.Poluntir, sukarela. Tapi apa yang saya dapat? Bukan tepuk tangan, namun tatapan ganas beringas dari para perempuan yang ada di sana. Mereka semua mengutuki saya, khususnya Tri Yuli Adriana. Saya dibilangnya sadis, berdarah dingin dan entah apa lagi.”Kenapa sih Yul?” tanya saya heran campur mangkel.”Itu kelinci mas, imut, lucu, menggemaskan. Masa mau disembelih sih? Dasar pria sadis tak berperasaan….!!!!”Tak tahan dengan segala kutukan dan sumpah serapah itu, saya, alm. Eko dan dua kawan lain menyingkir cari tempat sepi untuk menyembelih, menguliti dan mencuci daging kelinci itu. Done, selesai sudah. Setelah menusuknya masing2 dengan sebatang kayu, kami kembali ke api unggun dan memanggangnya. Bau sedap dan gurih pun segera tersebar ke udara.Ketika hampir matang, gerombolan cewek perkasa itu datang lagi mendekat dengan Yuli di depan.”Apa lageeeee?” saya langsung nyolot, siap2 menerima hujahan lagi.”Mas Koko…, minta kelinci panggangnya dooonggg….”Saya melongo takjub melihat perubahan angin buritan sekonyong2 itu. Beberapa detik kemudian setelah sadar, mendadak saya ingin memberakoti pokok2 cemara di kiri kanan saya dengan seganas2nya, melebihi keganasan seekor beaver.

Haryoko – 81

Mapala Gagah Gempita

Dalam persiapan lomba dayung, selesai sholat jumat berangkatlah 4 orang anggota mapala ke sungai glagah utk berlatih …
Sampai di glagah mulailah mrk latihan…
Di saat senja hampir tiba, dan latihan hampir berakhir mereka akan menutup dgn mencoba race..

Oke.. disepakati finish sampai di pohon kelapa yg miring..

Dan race pun dimulai.
Dengan ssngat bersemangat mereka saling berusaha mendahului ..
Dan pada saat-saat terakhir menjelang finish terdengar suara……hoooeeekkkkk…

Maka berhentilah race tersebut…
Wis finish iki…aku sing menang…
Kata mas2 yg biasanya gagah nan sigap itu tetapi sambil menunduk layu…

Menang piye…?? Kata seorg dari tim di perahu lain…
Finish e kan kae ..kambil doyong….

Lhaa..iki kan kambile yo doyong..
Kilah si mas gagah nan layu itu…

Dan ternyata memang krn efek dari hooeekk td…semua kambil (kelapa) di pingir sungai itu jd doyoonngg

Antara tukang dan mapala

Seusai ritual jogging Palapsi, pelunturan klenyitnya keringat kulakukan maghrib-maghrib di toilet gedung A .
Dalam kamar mandi yang sudah kuanggap sebagai studio recording, kunyanyikan lagu ‘sak kecekele’ mengikuti irama dentuman palu Pak Tukang bangunan yang kayanya lagi dikejar deadline gedung baru.
Selesai mandi aku ngaca bentar, podo wae rupane.
Aku bergegas keluar kamar mandi mengenakan celana pendek merah kecut, dengan baju kotor dan kanebo semampir di pundak. Tanpa alas kaki tentunya, edan po mapala e.
“Lembur Maas ?”
Kaget aku, tak toleh.. Bu Dosen melemparkan senyumnya.
“Iya Bu.. hehe”
Roaming bentar, otakku mencerna kata lembur. Lembur.. lembur.. lembur.. maksute??
Mataku ngobservasi sekitar, masih banyak Pak Tukang nyelesaiin gaweannya. Lalu kutarik pandanganku, kuarahkan ke sekujur tubuhku dan apa-apa yang melekat padanya.
Oalah aku dikiro Pak Tukang nunut adus, oke sip.

Dhika Yanuar 2012

Pemuda Desa dari Ambarawa

Suatu ketika, si junior ini terlihat tampak puas.. Mematut-matutkan diri mengenakan jumper Palapsi. Sambil membusungkan dada, terlihat bangga dan jumawa. Seakan2 hendak menegaskan, “Aihh.. tiba juga saatnya aku jadi senior”. Sambil glelang-gleleng di dalam sekret, betapa berartinya jumper itu baginya. Sangat serasi dg kolor yg dia kenakan. Mengingat di dunia persilatan, konon bahkan selembar slayer diperoleh dg bertaruh nyawa, sbg simbol diterimanya seseorang di sebuah mapala.
Barangkali si junior ini demikian pula, merasa sudah ditahbiskan, mengenakan jumper. Yaa.. Mungkin setara dengan hikayat slayer itu. Pasti tampak gagah di depan adik2 angkatan yang baru masuk itu, pikirnya.
Tapi tanpa dia sadari, di belakangnya ada yg berjingkat2, mengendap2, secepat kilat memplorotkan kolor yang dia kenakan komplit sak cawet2e hingga sebatas lutut.. Sambil berbisik.. :” nyohhh koweee..!”

Ambyaaarr..! Semriwing..
Seketika itu juga satu jimat yang dia simpan rapat2 selama ini, terangguk2, gondal-gandul, sebesar tutup spidol snowman, teruar di depan bbrp pasang mata di sekret.. Apa kata dunia kangouw nanti? Akhirnya rahasia itu terungkap. Dengan murka, tergopoh2 mbetulin kolornya, dia kejar si durjana, dan dengan sekenanya dijumput sebuah batu bata, lalu dia kerahkan sepenuh tenaga dg jurus “kera melempar buah”. Sambil berseru: “Sundalak..”
Tuiiinggg.. !
Beruntung pemuda Ambarawa itu memiliki ginkang yang lihay, sehingga terhindar dari lemparan karena sudah berhasil melarikan diri cukup jauh.. Sayup2 terdengar pemuda kita berkata: ” dendam sudah terbayar..!”

Amboi.. Seumpama saja terkena lemparan batu, tak kan pernah kita dengar kisah2 romantisnya saat putus cinta: “Kene.. njaluk udude.. Bar putus aku..”