Ekspedisi Tebing Uluwatu – 1995

Tim Expedisi Kecil Bali – Palapsi 1995, berangkat dari Stasiun lempuyangan Jogjakarta pada hari Sabtu pagi, saya tergabung dalam Tim Panjat Tebing yang akan melaksanakan pemanjatan dengan target buka jalur di tebing sea cliff di Ulu watu. Cerita bermula  dari setelah seluruh tim turun dari kereta di stasiun Banyuwangi, dan naik kapal Ferry menuju pelabuhan Gilimanuk. Di pelabuhan gilimanuk telah menunggu mas Didit Ambara yang bertugas sebagai tim pendahulu karena dia berdomisili di Bali, dengan menyediakan bis untuk membawa tim menuju basecamp di Universitas Udayana Denpasar Bali. Sebagai catatan bahwa Tim Expedisi kecil Palapsi ini mendapat support dari Universitas Udayana karena ada bantuan dari pak Ub (kalo nggak salah nama panjangnya mas Supriyadi angkatan 74) alumni psikologi juga.

Setelah tim mendarat dan bertemu dengan mas Didit serta semua sudah naik Bis, sebuah dialog terjadi “Ono sing iso ngancani aku ora?” Tanya mas Didit. Ternyata untuk memastikan bis penjemput sudah siap, mas Didit sudah stand by di gilimanuk sejak sore hari karena rumahnya yang hanya di daerah Negara, yang jaraknya hanya 30an kilometer atau sekitar 45 menit saja, maka dia naik motor. Nah… Sekarang sudah jam 9 malam dimana gilimanuk ke Negara harus melewati daerah hutan wisata yang pastinya sudah gelap dan sepi, maka mas Didit mencari teman untuk menemaninya naik motor pulang ke Negara. Akhirnya saya yang menyanggupi untuk menemani mas Didit, karena Tim Expedisi Panjat Tebing baru akan mulai pada hari Senin, sehingga saya merasa cukup waktu bila pada hari minggu  saya baru akan diantar ke Denpasar, serta informasi bahwa transportasi dari Denpasar ke Ulu watu tidak ada di hari minggu. Dan expedisi saya dimulai dengan menguji nyali menembus gelapnya jalan propinsi dari Gilimanuk ke Negara yang menembus hutan, tanpa penerangan jalan yang cukup, serta sepeda motor Honda Super Cup warna hitam dengan lampu yang jauh lebih terang dari nyala lilin ulang tahun. Alhamdulillah … Kami berdua selamat sentosa sampai rumah mas Didit di Negara. Dan tidurlah kami.

Kurang lebih jam 6 pagi, mas Didit dibangunkan oleh ayahnya, karena ada telpon. Ketika kembali ke kamar saya bertanya  “sopo sing telpon?”  “Agis”, jawabnya. “Ngomong opo?” Tanyaku lagi …. Jarene Tim budal saiki. Gepenk nek iso jam 9 tekan Denpasar”. Kowe budal kapan ? Tanyanya lagi …. Rencanane Senin. Jawabku sambil masih setengah sadar … Oh yo wis berarti sing budal tim e Agis…dan kita tidur lagi.

Jam 9 kami berangkat ke Denpasar. Sampai Udayana jam 10.30 langsung menuju ke sekretariat Mapala Universitas Udayana, dan bertemu tim gunung yang belum berangkat. “Tim Tebing nang ndhi mas ?” tanyaku ke mas Antok. “Lha kowe mau kan wis dikandani nek tim tebing budal saiki mergo ada transport ke Ulu watu tapi maksimal sampai jam 12.00”.  Jadi mau jam 9.00 wis do budhal. Badhallaahhh…. Ternyata telpon mas Agis tadi memberikan informasi kalo semua tim berangkat sekarang dan tim tebing sudah berangkat tadi jam 9 karena mengejar transportasi yang cuma sampai jam 12.

Melihat waktu sudah jam 11, saya segera mencari informasi dimana terminal tempat transportasi ke Uluwatu tersebut, dan langsung diantar teman dari Udayana yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Sampai Terminal Ubung cuma tersisa satu kendaraan elf yang bertuliskan Ubung – Uluwatu. Alhamdullilah, naiklah saya dan sebentar kemudian berangkatlah mobil itu. Di dalam mobil cuma ada 3 orang, saya, seorang ibu dan anaknya. Sampai di daerah yang saya lupa namanya, yang mungkin sekarang adalah jalur menuju pantai Pandawa, mobil berhenti dan turunlah ibu serta anaknya itu. Si Sopir bertanya kepada saya, “Bli mau kemana?” “Ke Uluwatu”, jawabku. “Oh ini penumpangnya sudah habis, saya mau pulang. Bli sampai sini saja ya, sudah dekat kok Uluwatunya. Paling jalan kaki tidak sampai 1 jam atau kalau ada taxi, naik taxi saja”, kata si sopir. Waduuuuh…nego untuk mengantar sayapun gagal, karena si Bapak ini mau ada acara di Pura. Ya sudahlah…PALAPSI…Never Give Up, masak jalan 1 jam aja nggak kuat. Wis tekad bulat…jalan kaki!

Setelah berjalan 30 menit, jalan makin menanjak dan makin sepi. Setelah istirahat yang ke-4 kalinya, walaupun pemandangan bagus, rasa gamang mulai menyelinap. “Salah dalan ora yo iki?”, tanya saya dalam hati. Lah saya ke Bali pasa jaman SD, itu juga nggak ke Uluwatu. Akhirnya walau jalan terus tapi mata mulai mencari tanda-tanda kehidupan, karena daerah makin sepi. Syukurlah saya melihat sebuah papan penunjuk jalan…Pura Uluwatu 10km. Bajindul…isih adoh tenan.

Saat sudah mulai niat mencari-cari tumpangan orang yang lewat, Alhamdullilah ada taxi gambar burung warna biru yang meluncur turun dari arah depan, langsung saja saya hentikan. Untuk pak Sopirnya mau mengantarkan saya ke Pura Uluwatu, walau si bapak Sopir ini sempat bertanya-tanya, mau ngapain sore-sore ke Pura karena Pura sudah tutup. Dan ketika saya bercerita kalau saya mau panjat tebing di Sea Cliff Uluwatu, si bapak ini memandang dengan wajah yang entah merasa aneh, entah merasa sangsi, entah takut. Saya tidak peduli karena yang penting saya sampai Uluwatu dan bertemu dengan teman-teman team Tebing yang lain.

Alhamdullilah, turun dari taxi saya langsung melihat mas Giri, Mbak Galuh, Mbak Endah, Nuning, serta Mas Rahmat lagi duduk di depan kantor pengelola dan mereka langsung menyambut saya juga dan sambutan dengan cara militer juga diberikan oleh mas-mas yang membawa ransel tentara dengan panci, misting, jerigen, dan lampu petromaks terikat di luar ranselnya. Dia adalah the one and only “Mas Al Bobby”

“Wis ndang kono kulonuwun ndhisik”, kata mereka. Sekilas saya melihat teman-teman itu sudah menggunakan selendang kuning di pinggangnya. Saya segera memasuki Pura dan menemui Bedande/Pendeta di Pura itu seraya minta ijin untuk berkegiatan di sekitar Pura. Dengan bahasa Bali yang saya tidak mengerti, Beliau meminta saya untuk ikut berdoa sembari Beliau menyiapkan segala sesuatunya. Dan saya mengikuti ritual yang dilaksanakan. Sampai pada akhirnya, saya diberikan sekuntum bunga kamboja yang tadi dipakai untuk mencipratkan air ke saya dari empat penjuru. Dengan bahasa isyarat, beliau meminta saya untuk menyimpan bunga itu. Oke…ya saya simpan nggak ada salahnya juga. Done

Sampai di luar Pura, kembali bertemu team dan mereka mentertawakan saya karena saya keluar dengan tempelan beras di pelipis dan dahi, serta selendang yang lain. Kenapa mereka tertawa, karena ternyata mereka sebenarnya meminta saya untuk kulonuwun ke kantor pengelola, bukan ke Pura. Wolla…semprul!

Malam menjelang…setelah dari acara kulonuwun itu, kita sempat untuk survey sekilas dan mencari lokasi untuk mendirikan camp. Dan ternyata malam di area hutan di atas tebing Uluwatu yang saat itu masih sangat sepi, sangatlah syahdu. Suara anjing menggonggong di kejauhan dan binatang-binatang malam dipadu dengan deburan ombak menabrak tebing serta langit bersih berbintang yang saking banyaknya sampai menyerupai nebula membuat acara makan malam dan diskusi untuk persiapan besok pagi menjadi sangat indah, hingga sampai saatnya tidur.

Hari Pertama

Survey tebing dengan metode top rope dilakukan untuk mencari jalur yang tepat. Team survey adalah saya, Mas Rahmat, mas Al dan mas Giri. Target adalah tebing seacliff yang langsung berbatasan dengan laut. Hingga siang hari belum ketemu tebing yang cukup keras untuk dipanjat, rata-rata batuannya adalah limestone atau batu kapur. Dan ternyata siang hari di atas tebing Uluwatu ini sangatlah panas yang membuat team survey terpaksa beristirahat dulu karena kulit terasa terbakar saking panasnya. Jam 15 kita mulai lagi survey, ke arah yang lain, yaitu ke arah Pura dan akhirnya menjelang sore, kita putuskan untuk membuat jalur di tebing yang tidak langsung berbatasan dengan pantai dan laut, tetapi masih ada satu teras sebelum sampai ke laut. Dan kita mendapatkan 2 (dua) calon jalur, sehingga kita mentargetkan membuat jalur putra dan jalur putri.

Hari kedua

Jalur Putra selesai digarap oleh mas Giri, mas Al, saya dan mas Rahmat. Dan jadwal hari itu team Putri yang jaga camp dan belanja. Lumayan tebing setinggi kurang lebih 50 meter berhasil dipetakan dan dibuat jalur. Menjelang sore, ada 2 orang bule dari Canada yang datang karena tertarik menyaksikan kita yang sedang mencoba-coba ulang jalur yang baru selesai dibuat. Mereka akhirnya minta ijin untuk mencoba, dan ternyata mereka memang punya hobby panjat dinding di negaranya sana, dan minta ijin untuk besok datang lagi untuk bermain bersama kami. Malam harinya cuaca tetap cerah, hanya dini hari hujan lumayan deras. Dan kita hanya bisa terlelap di tenda, kecuali mas Rahmat yang tanpa kita sadari masih tertidur di tikar di luar tenda saat hujan tersebut, tanpa terbangun sedikitpun, sampai kami harus menyeretnya masuk ke tenda.

Hari ketiga

Pembuatan jalur putri, oleh mbak Galuh, mbak Endah (alm) dan Nuning. Saya dan mas Rahmat jaga camp, mas Giri dan mas Al belanja. Di hari ketiga ini ada dua kejadian yang menarik, selain terselesaikannya jalur putri oleh mbak-mbak pemanjat tangguh PALAPSI itu. Pertama, dari posisi camp, kami dapat melihat lokasi tebing yang menjadi target jalur putri walaupun harus dengan teropong, dan sesaat setelah tim putri siap, tiba-tiba mereka terlihat melambai-lambaikan tangan seperti meminta tolong. Bergegas saya berlari ke arah lokasi. Sebagai gambaran, tebing yang akan dipanjat berada dibawah jalan setapak, sehingga harus memutar sedikit untuk turun ke start pemanjatan. Ketika saya sampai tepat diatas tebing yang akan di buat jalur putri tersebut, dimana tali top rope telah terpasang sebagai pengaman, ternyata tali itu sedang di tarik dan digulung oleh seekor monyet besar seperti orang hutan besar, bersama 2 ekor anaknya. Waduuhhh!!!, di jalan setapak yang sebelah kiri hutan, dan sebelah kanan jurang didepan orang hutan dengan keluarganya, lari balik juga takut membuat mereka panik dan menyerang, akhirnya saya cuma diam. Tidak disangka, Orang hutan besar itu tampak takut, dan dengan pelan-pelan kembali mengulur tali karmatel yang tadi dia gulung, serta bergegas menggendong anak-anaknya dan kabur masuk kehutan. Dan akhirnya pembuatan jalur berhasil dengan sukses dan aman. Kedua, kejadian yang tidak penting-penting amat, hanya lumayan membekas bagi mas Giri dan mas Al, dimana sepulang dari pasar, mereka mencoba jalur lain untuk mencapai lokasi camp, dimana ternyata mereka malah masuk ke arah pantai yang diportal dan dijaga. Dengan berbekal PD dan tampang lokal serta membawa buah2an dan sayuran hasil belanja, mereka malah diijinkan masuk…mungkin dipikir warga lokal. Dan yang paling menarik adalah itu adalah area Private Beach, alias pantai tertutup dimana isinya bule-bule yang berjemur dengan seluruh tubuh bisa terkena sinar matahari tanpa ada yang tertutupi.

Hari keempat

Pagi sampai siang kita beristirahat sejenak, dan berencana untuk mencoba lagi jalur putra dan putri setelah makan siang. Dan ada kejadian yang agak aneh lagi, yaitu tiba-tiba Nuning yang sedang tidur-tiduran di hamock memanggil saya, “Penk..penk… Mrene o… Iku ono ulo nang ngisor hamock ku. Dan betul ada seekor ular yang kemudian merayap pergi saat saya datang. Yang aneh adalah ular itu berciri seperti ular laut yang bentuk ekornya seperti sirip. Yaah.. Mungkin saya salah lihat saja. Yang penting ular itu pergi. Setelah makan siang, kami kembali mencoba jalur putra dan putri, dan diikuti pula oleh dua bule Canada yang kemarin pernah mencoba jalur putra.

Hari kelima

Saatnya kami kembali ke denpasar untuk berkumpul kembali dengan tim-tim divisi lain.

Expedisi ini sangat berkesan karena selain expedisi pertama saya bersama Palapsi, juga merupakan expedisi pertama dan terakhir saya bersama almarhumah mbak Endah Muchlisah A (semoga saya tidak salah menuliskan namanya) yang pada akhir tahun, di tahun yang sama telah menghadap Allah SWT.

Note : semoga tidak ada kesalahan dalam detail kejadiannya.

Indra Priyahutama a.k.a Gepenk – 2446/PLP

Tentang Palapsi-habit yang Terus Ikut ke Belahan Dunia

Justin 08 & Nindyo/Gepeng 04

“Kalian gak bisa turun kayak di musim seperti ini, airnya sedang tinggi dan kami gak mau mengambil risiko.” kata Gaby, perempuan ramah berambut keriting di balik meja sebuah kantor tour & travel di Bled, Slovenia. Sore itu kami sedang bernegosiasi tentang trip keliling Bled yang akan kami ambil. Bahwa kami mencoba menggapai cita-cita luhur jauh-jauh menempuh penerbangan panjang dari Jakarta, mampir Qatar, lalu mendarat di Jerman, lalu naik bus sepanjang malam sampai tiba subuh-subuh di Ljubljana, lanjut naik bus lagi ke Bled, adalah untuk arung jeram di Sungai Soca.

Ada dua cara mengarungi Sungai Soca: pakai kayak, atau perahu karet (rafting). Kalau mau kayak, pihak tour & travel gak mengizinkan karena alasan sungai sedang banjir. Sedangkan kalau mau rafting, well, gak ada yang mau rafting di tanggal itu (dasar turis-turis payah!). Kalau kami bersikeras ngarung tanpa ada orang lain, kami harus menyewa mobil tambahan sendiri dan harganya naujubillah, bikin sesak nafas lah pokoknya. “Dan kita gak bisa ke Soca, kalian akan arung jeram di sungai lain,” Gaby menjelaskan, yang lagi-lagi, bikin kami patah hati.

“Gak usah kalau gitu, kami hanya mau ke Soca. Soca or not at all,” kata saya sambil memberikan senyum dan acungan jempol. Kami pun akhirnya deal ikut tour keliling kawasan Gorenjska, yang mana kami akan melihat air terjun, puncak gunung, danau tempat tinggal ikan trout, camping ground, dan tentu saja, the prettiest Soca River.

Sungai Soca

Sejak menikah lima tahun silam, kami berharap bisa selalu arung jeram saat traveling abroad. Kami suka sungai. Kami selalu kangen untuk memegang dayung, merasakan segarnya cipratan air di wajah saat perahu menabrak standing wave, juga rasa lega saat berenang (sekalian pipis) di sungai. Lucunya lagi setiap ketemu sungai, kami otomatis langsung ribut membayangkan gimana rasanya arung jeram di situ. Kami terus komat kamit ngomongin jeram yang ini, jeram yang itu, terus kadang kami recall masa (((kejayaan))) di Palapsi dulu buat ingat-ingat hal lucu, drama, apapun yang bikin kami makin kangen turun sungai. 

Justin 08

Salah satu yang terwujud adalah waktu pergi ke Nepal. Awalnya kami gak tahu sama sekali soal arung jeram di sana sampai travel arranger dari Ammonite Adventure & Treks merancang short trip arung jeram di Sungai Trishuli, di tengah perjalanan darat kami dari Kathmandu ke Pokhara. Kami gembira luar biasa! Meski operatornya gak oke karena nyuruh dayung terus (monmaap ini kan gak lagi operasional ya wkwk), tapi pengalamannya luar biasa. Bahkan kami sampai beli buku White Water Nepal, kali saja Palapsi mau ekspedisi ke sana dan butuh sumber bacaan hihi.

Bisa dibilang ini salah satu kebiasaan Palapsi yang terinternalisasi dengan begitu lekatnya di diri kami berdua, bersamaan dengan kebiasaan lain seperti selalu membuat skenario perjalanan (termasuk cadangannya), terbuka dengan segala hal baru, berani ngobrol sama orang asing, gak menyerah dengan situasi, dan yang paling kami suka adalah kami merawat barang-barang kami dengan baik–ingat betul dulu jatuhin dayung saja kudu push up yekan.

Dulu setiap mau operasional, kita pasti bikin perencanaan sampai ke pembagian pos tugas mulai dari konsumsi, transportasi, dokumentasi, P3K, perkap, juga tugas beli sarapan sama snek di pasar. Perencanaan ini dibuat matang oleh PO, terus dia briefing timnya dan semua siap menjalankan tugas. Gak sama persis, tapi kami juga masih melakukan hal itu kalau traveling. Misalnya nih Mas Gepeng bagian konsumsi sama perkap, tugasnya packing, siapin alat mandi, baju, sepatu, dan lain-lain. Btw Mas Gepeng masih suka packing kerir yang dalamnya dikasih matras lho, khas anak Palapsi banget ya meski sebenarnya gak efisien, lha matrasnya gak pernah dipakai juga wkwk. Nah saya sendiri forever dokumentasi, transportasi, dan akomodasi. Apa yang khas dari saya? Khukhukhu, saya bisa dong bikin agenda malam tidur di bus, stasiun, atau bandara. Mungkin bawaan dulu suka kemping di berbagai tempat mulai dari kebon singkong, kolong jembatan, sampai kantor polisi. Jadi badan ini bisa tidur di mana saja.

Another Palapsi habit yang masih kami bawa-bawa sampai sekarang adalah kami berusaha sekali menjaga kebersihan. No, ini gak ada hubungannya sama mandi. Gak ada. Tapi lebih ke bertanggung jawab sama sampah sendiri. Selama di Palapsi, kami selalu diingetin sama quote khas mapala yaitu take nothing but pictures, left nothing but footprints, kill nothing but time. Semua semua mapala selalu menjargonkan ini. Kayak biar keren gitu. Apalagi Palapsi kan suka tuh bikin acara bersih-bersih mulai dari bersihin peralatan ops alias culat, bersihin motor orang, bersihin Kali Code, Sungai Elo, sampai sampah di Gunung Merbabu juga dibersihin. Jadi sebagai ‘lulusan’ Palapsi, kami harus menjaga kebiasaan luhur itu kan.

Lho kok bagus-bagus semua? Memangnya Palapsi se-perfect itu? Tentu tidak. Tapi karena ini buat buku lustrum, jadi harus positif. Masa sudah jarang muncul di sekret terus malah kasih cerita jelek (itu kita obrolin saja nanti di sekret ya, termasuk cerita tentang ‘sukarela’ nyangkut di DAM Ancol Progo Bawah dan nyasar pas sok mau jadi senior keren muncul pas Diklat wkwk). Sadar gak sadar memang Palapsi selalu ada di dalam diri kami, entah karena dulu lebih banyak main di Palapsi ketimbang kuliah, atau karena gak punya teman lain jadi ke Palapsi terus, atau memang karena kami nyaman dan menikmati waktu-waktu selama di Palapsi.

Tapi yang pasti karena Palapsi, kami jadi ketemu, nikah, terus berpetualang bareng deh hihihi.

Selamat ulang tahun Palapsi.

Salam NGU!

Justin (PLP08) + Nindyo/Gepeng (PLP04)

Mampir blog aplatefortwo.com yah!

Debut Palapsi Dalam Program Kreativitas Mahasiswa

“Selamat atas keberhasilan penyelenggaraan Ekspedisi Sarawak 2001. Kiranya dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang terlibat, khususnya PALAPSI sebagai organisasi kemahasiswaan. Sesuai dengan kealamiahannya sebagai pegiat petualangan, maka saya perkenalkan tantangan berikutnya bagi PALAPSI, yakni Program Kreativitas Mahasiswa atau dikenal sebagai PKM.” Demikian salah satu isi sambutan sekaligus tantangan dari Ibu Avin Fadilla, selaku Wadek 3, dalam presentasi hasil ekspedisi Sarawak 2001 di University Center UGM.  PKM sendiri pada awalnya dibentuk oleh Dirjen DIKTI (Pendidikan Tinggi) di tahun 1997 dengan nama Program Karya Alternatif Mahasiswa. Baru pada tahun 2001 berubah menjadi Program Kreativitas Mahasiswa. Tujuannya memfasilitasi potensi para mahasiswa untuk melakukan kajian, pengembangan dan penerapan dari ilmu yang dipelajarinya kepada masyarakat.

Tantangan pun disambut oleh kepengurusan yang saat itu diketuai Mas Eddy “Ableh” Warista. Rapat pengurus bergegas dilaksanakan dengan agenda utama menyusun gugus tugas PALAPSI untuk merespon PKM. Sebelas personil disiapkan dan ditunjuklah Debora “Debby” Puspita angkatan 99 sebagai Project Officer yang pada kepengurusan periode tersebut mengemban tugas sebagai Ketua Divisi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Jaminan keilmiahan program dipercayakan kepada Unit Olah Data yang dimotori oleh Maristha “Pam-Pam” Joseph angkatan 98 sebagai koordinatornya. Unit tersebut beranggotakan empat personil yang keseluruhannya berasal dari angkatan 98, dikenal cemerlang secara akademik dan mumpuni dalam dokumentasi dan administrasi data. Keempatnya adalah Ari Aria, Adi “Yoyok” Prasetyo, Nika “Choco” Roekmi dan Titis “Sembod” Lailaningtyas. Sebagai bagian dari regenerasi organisasi, dua personil muda yang berasal dari angkatan 2000 pun dilibatkan. Keduanya adalah Noppawan Rauf sebagai Koordinator Lapangan dan Sefourdinan “Becak” yang penanggungjawab Divisi Usaha Dana. Personil lainnya adalah Cahyo “Cici” Andrianto selaku Penanggungjawab Divisi Perijinan, Eddy “Ableh” Warista sebagai Bendahara, dan Ratri “Think” Atmoko sebagai Sekretaris.

Akhirnya, curah gagasan yang diselenggarakan oleh tim mengerucut pada fenomena tawuran pelajar antar sekolah yang begitu marak di Jogja kala itu. Selain luka fisik dan rusaknya fasilitas publik, tawuran antar pelajar terkadang juga merenggut korban jiwa. Di tengah kultur macho, tawuran antar pelajar seolah menjadi cara untuk mendapatkan pengakuan dan glorifikasi atas esksitensi seorang individu, sekelompok gang pelajar atau bahkan identitas sekolah. Selain tidak selaras dengan nilai dan identitas kota Jogja yang dikenal sebagai kota pelajar, kebiasaan tawuran juga cerminan atas makin lunturnya budaya penghargaan pada kehidupan yang ironisnya justru makin marak di kalangan generasi muda dan berpendidikan.

Proposal PKM dari PALAPSI selanjutnya dikirimkan ke DIKTI secara kolektif melalui Rektorat UGM. Saat itu, PALAPSI menjadi satu-satunya wakil dari Fakultas Psikologi yang mengirimkan. Tak lebih dari dua bulan atau tepatnya pada awal tahun 2002, terbit pengumuman dari DIKTI. Proposal dari PALAPSI menjadi salah satu yang dinyatakan lulus.

Langkah teknis pelaksanaan pun mulai dieksekusi oleh Tim PKM PALAPSI sesuai tanggungjawab masing-masing. Pertama, Unit Olah Data mulai mencari rujukan teoritik tentang perilaku agresi, terutama tentang definisi operasional, konstruk, pengukuran dan model intervensinya. Hasil kerja Unit Olah Data sangatlah luarbiasa. Salah satunya adalah dua alat ukur itensi agresi yang telah melalui uji statistik dan bahkan diangkat oleh Pak Heru almarhum sebagai contoh dalam Kuliah Psikometri yang beliau ampu. Dua alat ukur yang setara tersebut akan menjadi basis pelaksanaan pre and post test dalam mengevaluasi efektivitas outdoor training sebagai intervensi.

Kedua, Divisi Perijinan mulai melakukan pendekatan ke beberapa Sekolah Menengah Atas yang dikenal cukup sering terlibat dalam tawuran antar pelajar. Mengingat topik yang begitu sensitif dan dinilai berisiko, maka pendekatan ke pihak sekolah perlu dilakukan secara intensif dan bahkan personal melalui tokoh kunci di sekolah yang masuk radar dan menjadi target program. Dari kurang lebih sepuluh sekolah, hanya tiga sekolah yang merespon secara lebih lanjut. Namun, menjelang pelaksanaan outdoor training, satu sekolah mengundurkan diri dengan pertimbangan bahwa dua sekolah lainnya selama ini dikenal sebagai sekutu. Karenanya, untuk meminimalisir risiko, pihak sekolah tersebut memutuskan untuk undur diri dari program.

Ketiga, kekhawatiran yang muncul dari pihak sekolah pun menjadi pertimbangan bagi Tim Lapangan dalam mencari lokasi pelaksanaan outdoor training yang direncanakan akan berlangsung selama tiga hari.  Berkat bantuan dari Mas Laksana “Greg” Heryanto 85, Tim Lapangan mendapatkan hasil baik berupa ijin untuk mempergunakan Wisma Wara milik TNI AU yang berada di kawasan wisata Kaliurang sebagai lokasi penginapan dan sesi-sesi Indoor. Sementara untuk sesi outdoor, diperoleh ijin untuk mempergunakan kawasan Kaliurang. Lebih dari itu, penanggungjawab Wisma Wara bahkan siap dan siaga membantu untuk urusan pengamanan saat sesi outdoor jika dibutuhkan.

Keempat, menyadari bahwa dana sebesar 10 juta yang digelontorkan oleh DIKTI dalam program PKM kala itu baru menyukupi 75% anggaran yang dibutuhkan, Tim Usaha Dana pun giat dalam mencari sponsor tambahan. Hasilnya, sedikit tambahan dana diperoleh dari Pemerintah Propinsi. Selain itu, tim juga diundang ke Dinas Pendidikan Propinsi DIY untuk memresentasikan program, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan outdoor training.

Terdapat empat aktivitas utama yang dijalankan tim PKM PALAPSI. Pertama, pretest atau pengukuran tahap awal sebelum para peserta mengikuti kegiatan outdoor training. Intensi agresi menjadi variabel ukur sekaligus yang ingin diubah melalui kegiatan outdoor training. Tiga sekolah berpartisipasi dalam proses pretest yang diselenggarakan dari tanggal 25 Juli hingga 10 Agustus 2002. Kedua, kegiatan outdoor training tahap satu yang dilaksanakan dari tanggal 23-25 Agustus 2002 dengan mengambil lokasi di kawasan wisata Kaliurang dan fasilitas akomodasi di Wisma WARA (Sekolah Wanita Angkatan Udara), Kaliurang. Ketiga adalah kegiatan outdoor training tahap kedua.  Dilaksanakan dari tanggal 21-22 September 2002 dengan mengambil lokasi di Kawasan Wisata Kalikuning. Pada kesempatan tersebut, para peserta diajak untuk melaksanakan Camping Game. Keempat atau aktivitas terakhir adalah posttest atau evaluasi pascakegiatan outdoor training.

Demikianlah debut awal PALAPSI dalam Program Kegiatan Mahasiswa sebagai salah satu wujud nyata penerapan credo: mengabdi pada sesama. Setelahnya, PALAPSI beberapa kembali mendapatkan hibah tahunan PKM dan seolah menjadi tradisi. Bahkan pernah dalam satu tahun hibah PKM, dua tim dari PALAPSI lolos dan didanai.

Think 98

Hello Alam Semesta

Suatu hari di depan sekret yang panas, ada satu lembar ban di tangan kiri, ada kayu berlapis paku dan parutan di tangan kanan. Keduanya saya sisir satu sama lain dengan gaya ala manusia purba yang berupaya menyulut api dari friksi dua batu. “Tey ngapain ya?”

Ngapain coba? Kalau anak divisi AIR pasti ngerti. Bahwa saya tengah menambal perahu. Dengan sebelumnya harus ngerokin ban biar ngga masuk angin , eh maksudnya biar bannya kasar. Kalau sudah kasar, jadi bisa dilem dengan posesif dan kondusif ke permukaan perahu karet yang telah sobek-sobek dari perjalanan berbagai operasional arung jeram. Prosesnya lama, membutuhkan kesabaran. Saya tekuni sambil jagain sekret yang kosong ketika teman-teman lain masuk kuliah. Kalau saya, titip absen. Ini tanda sayang dan bentuk terimakasih sama perahu karet West Point merah yang selalu menjaga tim kami selama belajar di sungai. Dan terpaksa juga sih. Soalnya kalau ngga ditambel sndiri oleh tim, siapa yang mau ngerjain? Trus nanti mau ngarung lagi pake apa kalau dibiarin bocor? Kan kita mapala kere, bukan toko outdoor sports. 

Ternyata tanpa saya sadari aktivitas ini membuat saya nampak seperti abang-abang tukang ban di bengkel, dan seolah hilang arah dari tujuan kemahasiswaan. Apalagi pas ngajak ngomong perahu mirip-mirip orang ngajak ngomong tanamannya, makin dikira saya pasien berjalan di kampus mungkin. Nah saya sadarnya kapan dong? Tepatnya ketika jam kuliah selesai, warga Psikologi bubar dari ruang kelasnya menuju istirahat di kantin, tentunya mau ngga mau (kebanyakan pasti ngga mau) mereka melintas di depan sekret Palapsi. 

Teman-teman dari berbagai angkatan memeluk buku tebal, berjalan anggun, sambil menegur karena ga paham “Tey, ngapain kamu?”. Ada juga yang cuma menatap heran, ngga pake nanya. Tapi tatapannya mengandung beribu bahasa kalbu. Mungkin ujar mereka dalam hati “kasian ya orang tuanya Tey, ngirim anak kuliah tapi malah ga jelas di kampus jadi tukang ban, atau jualan baju di pasar pagi”. Terus terang ini salah satu momen yang melekat di memori saya, sempet mengguncang hati nurani. Bukan soal image buruk yang saya kuatirkan, saya ngga begitu ambil pusing orang menganggap saya jelek, saya tetap ngerasa cantik. Bukan soal kekecewaan orang tua yang saya kuatirkan, karena ortu saya open minded dan percaya asal saya bertanggung jawab, mereka tau saya akan sukses biar gimana pun bentuk pembelajaran yang saya jalani di kampus. 

Saat itu yang goyah adalah iman saya. Ngga bisa bohong bahwa ada suara kecil di benak yang mengiyakan keheranan orang lain “betul juga ya, ngapain lu Tey? Nambel2 ban begini padahal kalau ga ikut Palapsi harusnya bisa menjalani hidup yang “normal” nongkrong, belajar ke perpus dan ngemall bareng sahabat”

Seakan mau menyerah. 

Tangan kapalan, hati lelah, sudah 2.5 tahun ngarung rivercamp mulu tiap akhir pekan. Saya kuatir suara lirih ini tertanam di bawah sadar, dan lalu menjadi self-fulfilling prophecy yang membuat saya angkat tangan pada proses yang panjang. Padahal di balik ngerok ban sekecil apa pun se-lama itu di Palapsi, itu juga merupakan progress mencapai mimpi berangkat expedisi.  That moment of truth agak menakutkan dan menjadi pembelajaran akan identitas diri dan makna dari never give up. Untungnya dan pada akhirnya ide-ide untuk menyerah sirna sih. Berkat mendekatkan diri kepada orang-orang yang memiliki mimpi yang sama. Selain itu saya merasa keberadaan saya memiliki tujuan, biarpun tujuan itu se-sederhana untuk hadir bagi sesama, terutama karena saya telah membuat komitmen dengan tim.  My favorite quote dari film Black Hawk Down… When asked why do you do this?…… it’s about the men next to you, and that’s it. 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

The men next to me ketika menjalani ekspedisi di Palapsi bukan hanya atlet tim Air, tapi juga semua panitia XPDC, dan 2 lintas kepengurusan dan keberadaan senior. The beauty of expedition bukan adanya di perjalanan akhir ketika mengarungi sungai yang menjadi target. At the end, yang kita kenang dan yang mendewasakan kita adalah proses perjuangannya, the targeted river is bonus. Kalau kata orang, banyak sekali pengorbanan atau sacrifice yang harus diberikan. Tapi saya ngga mengartikan keringat, tangisan dan darah (betulan darah, dan juga mata ikan selama latihan) sebagai pengorbanan, melainkan sebuah trade-off. Karena dibalik keputusan, tenaga, waktu, usia yang kita kerahkan, kita mendapatkan manfaat. It’s never a loss, everybody wins. Minimal dapet hikmah lah. Wkwkwk.

Hikmahnya berekspedisi buat saya, adalah pembelajaran seumur hidup seputar ini:

  • Visualize your success to overcome your fears. 

Siapa di sini yang percaya law of attraction? Alam semesta pasti akan membantu

  • Persiapan itu penting
  • Don’t be afraid to take risk, but educated risk. Alias jangan nekat.

Saya sendiri belajar mengenai identitas, karakter, empati, trust, respect, kesabaran, komunikasi, acceptance, belajar banyak banget skills baru dan mengalami dan membuktikan sendiri bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses. To this day menjadi bekal di kehidupan Pribadi.

 ***

VISUALISING YOUR SUCCESS TO OVERCOME FEAR 

Ada kalanya di saat latihan, kita pernah atau sering jatuh. 

Satu dua momen, sungguh banyak malah, entah itu di danau lembah UGM, selokan mataram, atau di sungai Elo dan Progo. Latihan dayung. Performa ngga bagus, baca arus gagal terus, mau c-turn ga efektif, ngintir self-rescue di balik eddie mungil ngga berhasil malah hanyut terus. Mas Yatra, Mas Kas, atau Oon marah-marah mulu, portaging perahu disuruh ulang ulang lagi (diduga sebab utama saya mengalami kebotakan kepala), panas terik, pasir-pasir di atas batu aja udah berkerak kayak Brem Madiun yang patah-patah, kebayang gimana kaki kita nyeker tergoreng nyesssss sampai berasap (jangan tanya kenapa nyeker, inget kita kere). 

Nangis ngga ada gunanya, semua orang berlaga ngga simpati kalau pas lagi latihan, intinya ga terima alasan apapun, termasuk ngucek-ngucek mata atau bersihin kacamata burem, keram seluruh tubuh (kode: Gepeng). Ngga mau tau kaki berdarah nginjek batu2 di dasar sungai, mata ikan pecah, dengkul nabrak stopper berkali2. Mau ngulang nangis lagi ngga ada manfaatnya. Yawis, nangis ngga guna, mau ketawa aja. Tapi pas ketawa-ketawa malah kepala (pake helm ya) dipukul dayung lagi sama mentor-mentor galak. Ya Allah Gustiii….. kupetik ini untuk mengajarkan ku tentang endurance, persistensi, perseverenace, untuk bangun ketika gagal berkali-kali. 

How did I get my spirits back up and navigate myself to a good space again? 

Jawabannya: Visualize success to overcome fears. Termasuk fear of failure. Setelah dibejek-bejek sama senior to the max, mental udah tenggelam di dasar karena KEGAGALAN, plus tambah diingatkan kembali akan performa jelek pas ajang rapat evaluasi, modyarrrr.. Enaknya ditenangin pake indomie goreng di burjo kesayangan. Pulang. Istirahat. 

Sembari mengistirahatkan jiwa, biasanya memvisualisasikan hari esok. Di dalam bayangan itu, saya mendayung dengan hebat, power tinggi, endurance mantap, tarik-pancung mulus, dayung panjang dalem kompak sama tim, senyum sumringah, abis itu becanda seru isengin Joned (tadi saya bilang ngga ada pengorbanan ya? Maaf, mungkin ini tim yang selalu jadi korban akan bertestimoni sebaliknya). Abis itu bobo nyenyak sampe ngorok.

Selalu. SELALU ketika saya melakukan ini betulan esok harinya menjadi latihan atau operasional yang lancar sukses dan Bahagia *jogeeeed*. It’s the power of your mind, attracting the universe to help you gain success. Udah kaya buku Law of Attraction belum? Mantul. 

Di balik kisah derita kegagalan tadi di atas, banyak banget momen yang lebih mengandung kemenangan. Ya di saat ngulang-ngulang latihan ya harusnya jadi mahir dong, kalau ngga mubazir itu senior pada marah-marah. Nah itu pas menang dan kita ketawa bareng lagi, guyon sampah lagi, pijet-pijetan lagi, canda tawa receh lagi, makan mie ayam lagi, recharge lagi untuk menjadi semangat di hari-hari kemudian. 

Trus kenapa ngga tiap malem dong praktekin kaya gitu? Ya ngga selalu bisa, tugas dan peran lain selain atlet banyak. Jadi pengurus di Palapsi mikirin PR kehumasan dan cari dana. Jadi mahasiswa di kampus mikir tugas presentasi (katanya nitip absen?wkwk). Jadi pacar harus mikir pacaran. Fokus kita terbagi , urusan hidup ngga pernah linear. *siapa mau curhat yang sama hayo*

***

BAYANGKAN

Ada satu kesempatan yang khusyuk banget terjadi sebelum keberangkatan atlet XPDC Thailand di tahun 2008. Saat itu mas Iwan Pambudhi hadir ke sekret. Membawa moral support dan mengumpulkan tim besar Palapsi; panitia, pengurus dan atlet XPDC Thailand, untuk sesi heart to heart. Jangan salah,pengurus Palapsi yang konon (beneran kok) kerjaannya rapaaaaat melulu, berkomunikasi tiada henti, belum tentu artinya kita membuka rahasia hati.  

Siang itu saking ramainya kita ketika dikumpulkan, ruang sekret pun tidak cukup. Kita menumpang di ruang organisasi LM fakultas Psikologi. Ngga tau persis apa niat di balik pendekatan mas Iwan yang menguak “tubuh” kita. Dengan karakter seorang Trainer, ia memediasi kami. Setelah bertahun tahun melalui 2 periode kepengurusan, letih, jenuh, rutinitas, konflik, keraguan, mungkin itu saat yang baik untuk menyuarakan isi hati, tapi apa lagi yang bisa dikeluarkan menjelang keberangkatan selain keikhlasan, harapan, mimpi, juga doa. Gada lagi sisa-sisa rasa mau nonjok atau nesu-nesu, karena kita sudah membuktikan seberapa jauh kita bisa melangkah bersama, tinggal dikiiiiit lagi usahanya. Tinggal berangkat.

Saat itu saya terenyuh dan diingatkan kembali betapa memiliki anggota keluarga yang luar biasa hebat di Palapsi, mendengar kebesaran hati anggota keluarga kami. Semua sudah tau bahwa tidak seperti ajang FUD maupun ekspedisi national tipikal Palapsi, tahun 2008 tim yang berangkat XPDC hanya satu, yakni divisi AIR. Keputusan ini melalui assesmen dan masukan dari senior yang sudah digarap intens, ditambah dari kondisi kematangan tim terpilih saat itu. Divisi yang lain sedih? Itu. Sudah. Pasti. Ngga mungkin ngga ada kecewa. Makanya rasanya kaya mau nonjok orang kan? Tapi dengan waktu dan kepercayaan yang dibangun satu sama lain, semua rekan dari divisi lain ber-BESAR HATI-nya, bukan hanya untuk mengikhlaskan tidak memiliki kesempatan yang sama, tapi bahkan men-DORONG dan men-DUKUNG tim atlet AIR tersayang. Hiks, mau nangis.

Kami yang atlet berlatih, sambil manggang kue numpang di rumah orang hingga larut pagi untuk jualan kue, bangun jam 3 pagi untuk jualan baju bekas di pasar pagi Kaliurang dan Prambanan. Sebisa mungkin selalu ikutan ajang cari dana lain yang disetir oleh Bidang Penunjang. Di situ saya berdoa semoga semua pengurus dan panitia yang selalu memastikan asupan gizi, safety, dana, sponsor, perijinan dan logistic lain juga tidak ada yang merasa sia-sia mempercayakan kami yang berangkat membawa bendera dan nama Palapsi. 

Bahwa kerja keras kita, tetap diselimuti kegembiraan dan semangat bersama. Bukan dengan derita ketika kita melihat ke belakang dan mengingat perjuangan. Tapi dengan senyum. Ingat jualan buka puasa Ramadhan di Lembah. Ingat jual bunga di perempatan di seluruh pelosok kota Jogja. Ingat nyuci mobil dan motor warga masyarakat UGM. Ingat seminar dan workshop professional yang digarap dengan keren. Ingat kerja begadang skoring PAULI untuk Aire Consultant dan segala recruiting session yang Senior-Senior telah percayakan pada kita. Ingat ngikut training & outbound nya mas Ichal dan mas-mas senior lain memberi bekal pelajaran yang bermanfaat. Ingat jadi skipper bayaran di sungai Elo. Ingat ikut project penilitian dosen. Ingat kita pernah berkontribusi dan bertumbuh bersama. Ingat bahwa kita bisa hebat karena bersama, tidak bisa hebat sendiri. 

Etos kerja dan buah menghargai safety procedure dan proses yang kami jalani di tahun 2008 adalah ajaran turun temurun dari senior-senior kami, bukan kami yang hebat. 

Kita diajari untuk selalu menghormati proses PRE-DURING-POST dari setiap kegiatan. Dimarah-marahin sumpah serapah dan kepala dipukul dayung, inget? Disuruh push up pas jatuhin alat, sering? Iya ikhlaskan, itu juga bagian dari kita diajari untuk jadi siap. PERSIAPAN ITU PENTING cuk, fisik dan mental.

Sekali lagi, ritual yang saya suka dari PRE sebuah perjalanan atau proses baru, adalah mem-visualisasi kesuksesan. Ini membantu mengkalibrasi fokus dan energi kita. 

Masih menyambung sesi di ruang LM oleh mas Iwan, kami semua atlet, pengurus dan panitia diajak mengembara di awal waktu. “Pejamkan mata andaaaa”. 

“Bayangkan,,,, berangkat naik kereta,……, ……, …., ……, …… genggaman tangan rekan kita, bisikan maupun teriakan never give up, keberanian di hati, bayangkan tangan mengcengkeram dayung, perahu melaju di mainstream, Ilham pancung kanan, Lamboi tarik kiri, sungai menebas hutan, hentakan naik di wave, jatuh di drop, skipper teriak di belakang, “powerrr”, “potong kanaan” menerobos semua jeram dengan baik…. dengan sukses…..dengan selamat, bayangkan……, bayangkan…… bayangkan perjalanan pulang, dijemput oleh rekan-rekan sekret di stasiun, kembali ke sekret kepada pelukan teman-teman dan bergenggamana tangan kembali, menyanyikan lagu hymne palapsi, senyum lebar karena kita telah berhasil…. Soo…. Never give up… bayangkan….”

Itu. Yang saya bayangkan di benak. Menjadi bekal untuk menggerakkan diri ke arah yang sukses, sambil berdoa alam semesta juga bergerak bersama. Sampai menuntaskan XPDC Thailand. Tapiiii, ya jangan dikira perjalanan pasti mulus terus ya, DURING expedisi di Thailand sih tetap ada kejadian atau kecelakaan yang ngga bisa kita hindari, sampai 2 atlet kita cidera dan sakit. Itu namanya nasib.

Sebaliknya ada keterlibatan MAHA Pencipta yang rasanya lucu banget di kala Asahan. Ada yang pernah mikir ngga si, teori konspirasi alam semesta yang saya pikirkan? Palapsi bisa sampai ke Sungai Asahan tahun 2008 itu ulah siapa? Ulah siapa yang mematahkan plan simluasi XPDC yang harusnya Java River Rally, eh malah berangkat ke Asahan? Ulah sekumpulan pemimpi senior mengompori pemimpi junior lain. Ngeselin tapi ternyata jadi kebanggaan luar biasa. Segepok duit di”lempar” ke atas meja nongkrong sekret sebagai “pancingan”. Atlet ditantang “Ambil duit ini, berangkat Asahan” (ya ngga gitu si ngomongnya mas Seifor, kira-kira lah, saya ngga inget persis, wkwkw). Alam semesta berkonspirasi mendekatkan mimpi itu menjadi kenyataan. Percaya ga? Ada quote “A dream written down with a date becomes a goal. A goal broken down into steps becomes a plan. A plan backed by actions makes your dream come true”. Even wildest dreams mengarungi Asahan jadi kenyataan. 

Sebagai lokasi simluasi XPDC dadakan, itu sungai terbesar yang saya arungi seumur hidup saya, pertama kalinya merasa deg-degan takut mati, baca alfatihah berkali-kali, hati ngilu grogi. Ngga di-underestimate sama sekali ketika tante saya yang tinggal di Medan bilang bahwa jeram-jeramnya Asahan segede-gede rumah. Sungguhan, itu betul adanya. Ngga ada cara coping lain yang saya gunakan, melainkan membayangkan………visualize that you’ll succeed  lebih tepatnya SURVIVE duluan, pastikan TIDAK jatuh dari perahu sama sekali, kalau sampai jatuh ngga kebayang minum berapa galon, bisa jadi gelonggongan berenang di jeram bentuknya berantakan sambung menyambung never ending ya Allah. 

Long story short, wild dream gave us wild journey. And as wild as it was, pengarungan alhamdulillah sukses.

We took a risk di sungai itu. Kalau diingat kembali, kayaknya ko 50-50 took an educated risk versus NEKAT. We knew we had the skills and power, tapi kita ngarung 1 perahu dan 1 kayak tanpa ada perahu rescue. Now looking back, saya ngga mau ah ngulangin itu lagi (faktor umur kali ye). Alhamdulillah yang di ATAS dan alam semesta ikut bergerak dengan baik. Mungkin ke depannya jangan ngulang ngarung solo di sungai besar seperti ini ya, bagi adik2 generasi penerus PALAPSI. 

Salam. 

Tey PLP05

Seputar Ekspedisi Krueng Tripa

Pada Ekspedisi Krueng Tripa, Palapsi hanya memberangkatkan satu team air dengan disertai supporting team termasuk kameraman. Dari Medan kami berangkat bersama sama menggunakan angkutan umum semacam mikrobus ke Kotacane (agak sedikit lupa Medan-Kota Cane atau Kota Cane-Blangkejeren) karena sudah terlalu sore sehingga tidak ada angkutan dan hanya satu angkutan yang berangkat ke kota tersebut, akhirnya kami putuskan membagi 2 team dengan jadwal keberangkatan yang berbeda. Team yang berangkat pertama membawa perbekalan dan surat surat ijin sekaligus mengurus akomodasi dan perijinan, sedangkan yang berikutnya adalah team pendayung. Barang perbekalanpun mulai di bagi bagi antara peralatan dan logistic. Perjalanan cukup panjang dan melelahkan naik angkutan dengan jalan jalan berliku liku sehingga dijamin mabuk tanpa minum anggur cap orang tua. Sampai ditempat tujuan, Team ditempatkan oleh Pemda setempat di Mess Haji dengan kondisi yang sepertinya tidak pernah dipakai. Dibongkarlah alat alat masak untuk mulai memasak karena sudah lapar karena dari perjalanan jauh dan tragisnya semua peralatan masak udah siap untuk memasak tapi bahan bahan masaknya tidak ada alias dibawa team yang berangkat besok pagi, yang ada hanya sekotak kopiko, entah dapat beli atau dapat sponsorship lupa. Walhasil malam itu makan kopiko, besok paginya makan kopiko, siang kopiko, (kondisi perbekalan dalam bentuk nominal yang mepet dan dipegang bendahara) dan malam baru ketemu team berikutnya yang bawa bahan makanan.

Ekspedisi Pengarungan sungai Tripa untuk kondisi saat itu adalah luar biasa, mengingat kami mengarungi sungai yang membelah Aceh tenggara yang waktu itu belum bisa ditempuh dengan kendaraan, dengan medan hutan yang lebat dan kondisi perahu yang terbuat dari perahu safety rescue/cadangan untuk sekoci kapal yang dilapis dengan vinil warna kuning dan pelapisan itu dilakukan oleh team sendiri. Jadi kalau anak jaman sekarang kecanduan nge-lem dengan lem aica aibon, rasanya team air Palapsi juga  mengalaminya …nge-lem perahu karet dengan vinile dan dilakukan di sekretariat Palapsi yang waktu itu masih diperbolehkan selama beberapa waktu, sungguh perahu hasil handmade yang luar biasa.

Pengarungan itu sendiri di awali dengan pembagian team survey menjadi 3 bagian, yaitu atas Hulu, bagian tengah dan bagian bawah Hilir, dan kemudian akan bertemu di satu titik untuk kembali ke basecamp dan memulai pengarungan. Dalam perjalanan survey banyak pengalaman yang terjadi dan semua menegangkan mulai dari awal dimana waktu itu juga sudah ada issue tentang GAM dan lebih menegangkan lagi karena salah satu team kita ada anggota AD yang semua ijinnya harus di urus ke Mabes, dan itu selalu membuat kelabakan kantor militer di kota terdekat, karena ada perwira dari Mabes yang “menyusup” ke daerah mereka sehingga setiap kita diberikan fasilitas untuk basecamp di suatu daerah kita tidak pernah menggunakan fasilitas militer ataupun polisi, team lebih memilih untuk menginap di PHPA milik Departemen Kehutanan mengingat kita harus jalan menyusuri sungai yang akan di arungi dan mungkin ketemu masyarakat yang waktu itu berseberangan dengan TNI dan Polri. Ada suatu pengalaman sewaktu survey, yaitu bertemu dengan orang yang sedang menambang emas dan melihat kami dengan peralatan yang kami bawa, mereka mengira kami adalah pencari emas juga, jadi kalau bicara dengan mereka agak kenceng juga. Mereka sangat terkagum kagum dengan headlamp yang kami bawa dan mereka berfikir bagus kalau buat berburu.

Pada suatu ketika dalam perjalanan Survey waktu sudah sore, dan kami bertemu dengan penduduk setempat dan sekaligus mohon ijin untuk menginap di rumahnya, dan bapak itu mempersilahkan, namun ketika kami mulai membongkar perbekalan untuk bebersih, datang utusan dari pak Kecik untuk memanggil kita agar berkumpul di balai desa (entah apa namanya waktu itu) dan kita berjalan cukup lumayan jauh ke balai desa tersebut dan ketemu dengan team survey kita yang lain, senang rasanya, dan pak Kecik minta kita mengingap di sana. Nah persoalan terjadi rupanya bapak yang bertemu di awal dan kita minta tolong untuk menginap dirumahnya tidak berkenan, karena bagi mereka ketika awal sudah bersedia untuk menginap harus tetap menginap dan ketegangan terjadi. Akhirnya ada titik temu bahwa barang harus tetap di rumah bapak itu sementara orang nya boleh tidur di tempat pak Kecil. Clear! Malam itu suasana dikampung itu menjadi ramai dan kami semacam menjadi tontonan. Kami hampir tidak bisa istirahat karena melihat mereka mencoba angkat dan memakai tas carrier kami dan berbicara dalam Bahasa yang kami kurang paham.

Survey diakhiri di desa Tonggra, dan kami mengisi buku Tamu di Desa itu, yang hanya tertulis 1 Orang Perancis yang mengunjungi desa tersebut dengan sepeda dan kami dari Palapsi. Kabarnya, berikutnya adalah Setyo dari Mapala UI yang waktu itu akan melakukan ekspedisi sungai Tripa dengan  waktu yang hampir bersamaan dengan Palapsi.

Tibalah waktu untuk memulai pengarungan, agak sedikit lupa dalam memori saya ketika kami memulai pengarungan dilepas oleh pejabat desa dengan seremonial yang cukup meriah. Team terdiri dari 5 pendayung dan team supporting termasuk photographi (mas Bagus 76 almarhum).  Sungai Tripa sungai yang sangat Indah dengan air yang sangat jernih dan masih belum ada yang mengarungi nya (waktu itu), dan kita selalu dikejutkan dengan jeram jeram yang besar dan penuh tantangan, dan itu membuat terkadang terjadi perdebatan didalam team sendiri disisi lain kita harus mendapatkan hasil photo yang bagus dan dramatis  karena membawa misi agar Palapsi bisa mencuat namanya untuk selanjutnya agar mudah mencari support dana jika PLP mau Ekspedisi ke Luar negeri, sedangkan disisi lain adalah jeram yang sangat bagus untuk dinikmati dan di sisi lain pula kondisi perahu yang penuh dengan perbekalan yang membuat kita harus berhati hati menjaga agar perahu tidak terbalik dan perbekalan kita menjadi hilang, kadang kita harus unload barang demi sebuah hasil photo jeram yang bagus, dan konsekuensinya ya harus balik lagi mengangkut barang untuk dimaksukan ke dalam perahu, pernah suatu ketika perahu kita masuk ke dalam jeram dengan arus yang sangat kuat sehingga kita susah untuk berhenti dan menepi, namun beruntung kita bisa menepi dan menurunkan beberapa barang dan penumpang sehingga didalam perahu tinggal bertiga dan ternyata jeram tersebut berujung air terjun yang cukup curam, kami bertiga mengendalikan perahu agar tidak terbalik sewaktu masuk kedalam air terjun setelah menepi. Team yang kita tinggal datang dengan sumpah serapah karena jalan kaki cukup jauh.

Pengarungan di akhiri di desa Tongra yang sebenarnya kita tahu dimana letaknya, didalam peta hanya ditunjukkan ordinatnya saja dan team tidak pernah membuka peta apalagi kompas, lebih mengandalkan kepada bertanya kepada penduduk asli yang sangat jarang di jumpai, setelah jeram jeram besar berkurang namun air masih sangat deras, team mulai agak sedikit santai dan tidak terlalu tegang lagi, sampailah pada suatu desa dengan jembatan dari sling baja yang melintas sungai, dan tentu dengan nada iseng dan rasa ingin tahu kita berhenti dan mencari penduduk desa untuk ditanyai nama desa ini dan di jawab Tongra…naah untung kita mempunyai curiosity yang tinggi sehingga tidak kebablasan melebihi desa terakhir.

Perjalanan pulang dari desa terakhir menuju basecamp tak kalah menarik, banyak hal hal yang lucu yang dialami team, mulai terpaksa harus mengganti kuda pengangkut perahu dan perbekalan karena kudanya terperosok jurang, menunggu masakan dari penduduk yang tak kunjung masak masak karena ternyata kesulitan membuka kaleng kornet dengan menggunakan parang dan tidak bisa terbuka dan ketika dibantu dengan memutar tutup kalengnya mereka baru tersenyum, sampai saking jauh dan lamanya kita berjalan sampai timbul halusinasi dimana temen kita mas Bagus almarhum teriak …… hoooi ada warung baso kita jajan dulu yooo….emang dari jauh kelihatan ada rumah kecil namun setelah kita sampai disana tidak ada warung penjual baso hanya pos kecil semacam pos ronda dari penduduk di pinggir hutan. Masih diseputaran ekspedisi aceh yang mungkin sampai sekarang menyisakan property adalah ompreng makan souvernir dari kapal , yang  saat saya berkunjung ke sekretariat Palapsi beberapa tahun yang lalu masih digunakan

Rahmanto Basuki – 86

Hal menarik seputar Ekspedisi Aceh 1988

Sore kami tiba di desa Agusen, Kotacane, Aceh Tenggara dan  langsung di tempatkan di lokasi bangunan SD, sambil berbenah menyiapkan basecamp kami berbincang bincang dengan beberapa tokoh masyarakat desa yang tinggal disekitar SD, termasuk bapak kepala sekolah, dan kami mendapatkan banyak masukan tentang bagaimana keadaan masyarakat di Agusen, tata cara bergaul dengan penduduk di Agusen, telaga tempat mengambil air dan lain sebagainya. Nah yang sangat teringat adalah pembicaraan  tentang hewan buas yang masih berkeliaran disekitar desa termasuk macan.  Cerita masyarakat disana tentang hal tersebut membuat was was juga jika harus keluar malam malam dengan membawa senter, karena konon tidak disarankan berjalan malam dengan membawa senter karena akan dikira mata dari binatang dan akan mengganggu binatang yang lainnya.  Saya mendapatkan pencerahan yang sangat mencengangkan tentang binatang buas yaitu macan dari salah satu anggota team kita yang berteori bahwa sebenarnya macan itu bisa dilawan dengan jurus jurus karate dan dia mempraktekkannya ketika macan mulai menerkam, kita tangkis dengan tangan kita dan kemudian secepat kilat kita bisa mencolok matanya dan pasti macan akan kabur…(jangan dicoba dirumah ini adalah pelajaran bela diri HOAX)…hebat…

Masyarakat Aceh sangat “menghormati” macan sebagai hewan yang sangat perkasa, pendapat  ini kami temui pada ekspedisi berikutnya (Ekspedisi Krueng Tripa) dimana masyarakat Aceh menjadi respek ke team karena sudah bisa masuk ke wilayah yang jauh ke desa mereka, dan mereka beranggapan bahwa team telah membawa kesaktian semacam obat macan.

Kembali persiapan base camp di desa Agusen, setelah berbincang dengan tokoh tokoh masyarakat disana hari mulai gelap, dan saat itu perut saya merasakan ada sesuatu yang harus dikeluarkan …saya mulai panik, disamping kami baru sampai dilokasi ditambah cerita cerita penduduk disana tentang macan, srigala, yang intinya jangan menggunakan senter ketika jalan malam hari agar tidak dikira mata binatang lain yang mungkin kita kan diserangnya. Karena perut tidak bisa kompromi….saya ambil tissue dan botol air, serta senter dengan tidak lupa pesan pesan yang tadi untuk tidak dinyalakan . Lari kebelakang SD menurut saya waktu itu jalan sudah lumayan jauuh dan masuk semak semak….naah buang hajat lah saya disitu sepuas puas nya….setelah selesai bersih bersih…kembali lah ke base camp (SD) tentu dengan was was terpengaruh cerita tadi….untuk bergabung dengan teman teman yang lain….

Keesok harinya adalah hari yang luar biasa karena akan mengantarkan team gunung untuk memulai pendakian, …Setelah ritual khas Palapsi, team kami antar berjalan ke arah belakang SD…laah jalan yang semalam saya lalui….dan setelah berjalan kurang lebih 10 -15 menit ketemulah tanda tanda bekas semalam seonggok kotoran yang menggunung disertai tissue tissue disektiarnya  (kalau dulu sudah ada hp android yang ada kameranya mungkin sudah ku abadikan)…ternyata semalam itu yang saya kira sudah jaauh masuk ke dalam semak…justru malah dipinggir jalan “raya” menuju kaki gunung Lauser…sebelum team gunung Lauser meninggalkan jelak, saya sudah meninggalkan jejak terlebih dahulu…

Masih diseputar ekspedisi Aceh, seksi yang paling ribet seksi logistic team harus menyediakan makanan untuk semua team, baik yang tinggal di base-camp atau team pendaki maupun team air.  Team logistic (terutama yang untuk team pengabdian masyarakat dan penelitian) merasa lauk pauk yang bernama abon kok selalu mudah habis….usut punya usut ternyata ada anggota team yang selalu mencari tembakau di lokasi logistic yang ternyata itu adalah abon, untuk dikudap, entah saya lupa hukuman apa yang diberikan oleh anggota tersebut yang selalu makan tembakau, apakah mengambil air, masak atau apa kok saya lupa.

Acara yang sangat menyenangkan bagi team peneliti dan base camp adalah mandi di sungai Alas….dari base camp (SD Agusen) untuk turun ke sungai Alas cukup memerlukan waktu 2 jam PP jadi kalau kita berniat untuk mandi, berangkat dari base camp keadaan gerah karena udah lama enggak mandi, naah pas pulangnya kondisi kurang lebih sama….(jadi seakan akan ada waktu yang terbuang…percuma tanpa hasil.) tapi kejernihan dan kesegaran sungai Alas tiada tara, kita bisa mandi dan saling kirim kiriman salam antara yang mandi dan lain lain yang berada diatas hulu sungai dan temen temen yang mandi dibawah disekitar hilir…

Suatu ketika kita mandi dan bermain terjun terjunan dari atas tebing dipinggir sungai terjun ke arah sungai Alas,… bergantian …terjun bebas…ke air…nah ada anggota team penelitan perempuan yang ikutan bermain terjun terjunan, dan sudah menjadi trandisi kalau mandi untuk perempuan adalah menggunakan kain atau sarung, nah anggota team ini juga menggunakan sarung untuk mandi dan mencoba untuk ikutan bermain terjun terjunan, walhasil ketika beliau melompat sarung mengembang dan kecepatan luncur tubuh dan sarung lebih cepat tubuh sehingga tubuh meluncur dengan cepat sementara sarung tetap diatas……..saking malunya waktu itu rasanya yang bersangkutan mau melakukan operasi plastik untuk mengganti tubuhnya  karena tubuhnya telah diketahui orang yang ikut mandi…

Selanjutnya acara lain yang sering dilakukan oleh team peneliti dan pengabdian masyarakat adalah mengambil data dengan berkunjung kerumah rumah penduduk  Gayo di Aceh tenggara, dan selalu mendapatkan jamuan makan siang dengan beras merah dan sayur labu dengan bumbu kuning dan lezat yang dimasak dalam kurun waktu yang singkat, pernah juga disuguhi ikan kecil kecil hasil tangkapan di sungai Alas dengan membongkar batu dan ikan itu diserok dengan jarring kecil, rasanya luwar biasa, dengan menu seperti itu, ternyata orang orang Gayo Aceh Ternggara mempunyai paras yang cantik dan putih sehingga rasanya team peneliti merasa tersaingi dengan kecantikan natural mereka yang setiap sore selalu menggunakan bedak dingin cemong – meblok meblok, saking terpesonanya dengan paras mereka team basecamp senior kita sampai berujar, ayu ayu yo wong Aceh ki gek lawuhe opo ? padahal Lawuh he biasa kok ayu yo…(cantik cantik ya orang Aceh … kalau makan lauknya apa? Padahal lauknya Cuma biasa kok bisa cantic ya….

Pada suatu ketika ada undangan acara kawinan atau apa (lupa) yang acaranya berada di seberang sungai alas, dan ketika menyebrang ke sana mungkin karena beban yang cukup berat, jembatan gantung yang dilewati rubuh, padahal pas hujan lebat dan banyak dari penduduk yang jatuh terluka…dari team basecamp saya agak lupa apakah ada yang terluka atau enggak tapi yang saya ingat waktu itu salah satu team air yang ikut dalam acara tersebut membawa peralatan P3K dan sedikit memberikan pertolongan dan memberikan obat nyeri berupa ponstan kepada penduduk yang jatuh, dan rupanya obat itu mujarab menghilangkan rasa nyeri, sehingga salah satu teman kita itu dipanggil pak dokter..hebat tidak perlu sekolah di kedokteran cukup memberikan p3k sederhana dan ponstan udah menjadi dokter dan hal tersebut masih melekat ketika kita ekspedisi berikutknya di Aceh ternggara (Tripa).

Satu hal yang sangat luar biasa waktu itu adalah kecepatan informasi, ketika team gunung melakukan pendakian, yang paling sibuk adalah team komunikasi, beberapa kali terlihat loss contact dengan team gunung karena medannya memang sulit, namun ketika team komunikasi kesulitan kontak dengan team gunung justru ada berita dari penduduk sekitar yang sedang meladang katanya ada salah satu team kita yang terjatuh dan berita tersebut actual dan cepat, ketika team komunikasi berhasil mengkontak dengan team gunung dan menkorfirmasai iya betul ada salah satu team yang terjatuh, dan tidak mengalami hal yang mengkhawatirkan.

Rahmanto Basuki – 86

Cerita Mamasa – 1993

Cerita sedikit tentang Mamasa, kota kecamatan kecil, waktu itu di utara Polewali, masih rangkaian pegunungan Quarles. Perjalanan ke mamasa dimulai dari Makassar atau Ujung Pandang. Tim gunung bisa dibilang yang terakhir meninggalkan penginapan asrama haji, menyesuaikan dengan jadwal bus malam jurusan Polewali. Tim lainnya seperti gua dan penelitian pengabdian masyarakat ke enrekang, dan tim sungai ke mamuju. Nantinya tim sungai akan bertemu tim gunung di Mamasa. Dini hari tiba di terminal Polewali yang sunyi, lanjut tidur seadanya di bangku-bangku terminal menunggu pagi saat ada angkutan ke Mamasa. Pagi hari mulai ramai karena Polewali merupakan lintasan menuju Majene dan Mamuju, di kemudian hari ketiga kota ini dan Mamasa menjadi bagian dari Propinsi baru Sulawesi Barat. Tidak lama menunggu, angkutan sudah siap, karena tidak sepanjang hari ada angkutan mengingat jarak Polewali – Mamasa , dan sedikit penumpang untuk rute ke daerah pegunungan. Rute jalan berliku menyusuri sawah, kebun dan hutan tropis, juga warung kecil pemberhentian, dan akhirnya seteah sekitar 3 jam lebih dengan bagian akhir jalan menyusuri sungai tibalah di di kota kecil Mamasa.Mamasa sebagian areanya ditanam padi dan ikan mas, sebagian lagi di kebun lereng bukit ditanami kopi. Ternak babi menjadi semacam tabungan di sebagian rumah tangga Selain beras putih ada beras merah, dan yang pertama saya makan di sini beras hitam, bukan beras ketan. Mamasa terletak di ketinggian, udara sejuk berrhembus meski sinar matahari kadang menyengat di siang hari, dan malam hari dingin. Pasar Mamasa ramai pada hari-hari tertentu, khas daerah pelosok ketika hari pasar adalah saat bertemu dengan desa desa lain sambil berdagang. Bank, toko-toko, kantor pos ada, juga terseda semacam mess peristirahatan tamu milik pemda tempat kami menginap, enaknya jaringan alumni ya begini ini, selama bisa menjaga hubungan baik, ada saja hal hal yang tidak diduga …salahsatunya penginapan ini, meski sepi dan agak jauh dari pemukiman masyarakat, terimakasih. Mamasa ini titik terahir sebelum memulai perjalanan menuju Gunung Gandadewata yang bermodalkan peta skala 1:250.000 jika tidak salah, seru kan. Supaya tidak kaget dengan rute dataran Sulawesi ini yang naik turun bukit tidak pkai permisi, maka perlu namanya aglimatisasi…ini versi @ananto sulistyo 91 ya…ndak usah protes. Penyesuian dengan ketinggian (aklimatisasi, penyesuaian dengan iklim lokal), karena udara mulai menipis sehigga badan kekurangan oksigen untuk bernapas normal, efeknya bisa pusing-pusing, mual muntah, lambat berpikir, respon yang sering disebut mountain sickness. Sambil melengkapi logistik, tentunya pamit permisi dengan tetua setempat, Bapak Daud atau masyarakat mengenalnya Bapak Mantan Lurah, Pak Daud ini tidak ikut mengantar, hanya sampai ke ladang di tepi hutan, selanutnya Pak Tandi dan anaknya Minggus, ini bolos seolah SD atau SMP deh kelihatannya dan satu lagi duhh lupa namanya…yang menemani sepanjang perjalanan mamasa-gandadewata. Konon Pak Daud ini mempunyai kelebihan, tanpa ada bercerita, beliau bisa tahu kondisi perjlanan tim kami, entahlah…oh ya rutenya menurut saya tidak seperti di Jawa yang kadang elandai banyak bonus datar, meski rute kampung kadang langsung naik , Rute yang membuat saya tumbang di hari pertama, keringatan dingin, nggliyeng dengan backpack penuh memaksa berhenti lama di ujung kampung sebelum ladang. Persiapan latihan sendiri kurang, badan tidak siap meskipun ada latihan bersama simulasi di lereng merapi. Setelah istirahat semalam di pondok ladang, syukurnya besok bisa lanjut menuju camp lanta bunbun, lanta lomo, papandanan, paparandanan, dst.. sampai kembali ke Mamasa. Terimakasih mas Ichal Diesa, Antok Suryaden, Elizabeth Hartantri, Donni Hadiwaluyo

Indra Fakhrudi – 91

“Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”

Sepenggal kisah di balik operasional Ekspedisi Sumatra Barat 1997

Sungai Batang Sinambar, Ekspedisi Sumatera Barat

Dimana kita berada, kita harus mampu untuk beradaptasi dengan budaya dan adat masyarakat setempat. Kira-kira kurang lebih itulah arti peribahasa Suku Minang pada tulisan diatas. Berawal dari tahun 1997 pada saat Ekspedisi Sumatra Barat sampai sekarang, saya masih terkesan dengan budaya dan adat suku minang yang masih dijalankan masyarakatnya.

Tulisan ini akan mengusik sedikit kenangan di belakang cerita operasional masing-masing divisi pada saat Ekspedisi Sumatra Barat tahun 1997. Atau kalau istilah kekiniannya  “behind the scene”. 

Pada saat ekspedisi Sumatra Barat 1997,  Palapsi memberangkatkan 4 (empat) divisi operasional yaitu :

  1. Divisi Air (arung jeram) dengan target pengarungan Sungai Batang Kuantan, Batang Sinamar dan 1 (satu) sungai daerah Pasaman (Bonjol)
  2. Divisi Caving, akan mengeksplorasi gua di daerah Desa Durian Gadang
  3. Divisi Tebing, akan melakukan pemanjatan di Tebing Harau
  4. Divisi Litbang, akan melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat di Desa Durian Gadang.

Divisi Caving dan Litbang berada di satu lokasi, yaitu di Desa Durian Gadang Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung, dimana tentu banyak cerita seru di luar operasional yang hanya bisa diceritakan oleh para pelakunya di Divisi Litbang dan Caving.  Divisi Tebing sendiri dan kami di divisi air akan ada waktu bertemu dengan tim divisi litbang dan caving.

Sungai Batang Sinambar, Ekspedisi Sumatra Barat

Divisi air (arung jeram) sendiri mempunyai target 3 (tiga) hari di Pasaman, dan kalau tidak salah 7 (Tujuh) hari di Batang Kuantan dan Batang sinamar. Tetapi ternyata, kami divisi air hanya membutuhkan waktu 4 (hari) saja. Sehingga kami mempunyai banyak waktu untuk istirahat atau menunggu divisi lain selesai di Kota Padang Sumatra Barat, tepatnya di sekretariat Pecinta Alam Mapala Unand (Universitas Andalas) 

Sungai Batang Sumpur, Ekspedisi Sumatera Barat

Nah di kota padang inilah, saya mulai terkesan dengan budaya  dan adat orang minang, terutama terkait dengan pergaulan cowok cewek di kampus. Sebagai perbandingan di jogja saat itu, cowok cewek kongkow di kampus untuk kegiatan, tidak dilarang baik oleh pihak kampus maupun ortu. Tetapi pada saat itu, jika memang ada cewek yg ikut kegiatan sampai malam, biasanya yang cowok akan mengantar sampai rumah, atau kost, atau jika bawa motor, ya cukup dikawal sampai rumah. Sedangkan saat itu di Universitas Andalas, kegiatan kampus dibatasi hanya sampai pukul 21.00 (9 malam) dan cewek sudah tidak boleh ada di kampus.

Seperti diceritakan sebelumnya, kami divisi air (arung jeram) mempunyai banyak waktu untuk menikmati Kota Padang. Dan masing-masing melakukan aktivitas sesuai minatnya. Almarhum Mas Agis 93 mengenalkan arung jeram ke teman-teman Mapala Unand. Mas Adi 93 sesekali ikut, tetapi terkadang suka mengeksplore kota, dan bahkan sampai ke Bukit Tinggi. Mbak Nana 94 tidak usah ditanya, setelah istirahat sehari di Kota Padang, sudah eksplore sampai ke Bukit Tinggi dan Istana Pagaruyung di Tanah Datar. Ucoq “Rini Mintarsih” 95 kalau tidak salah, cukup menikmati Kota Padang saja. Wahyu 96 ikut bergabung ke tim pendakian Gunung Kerinci bersama teman-teman Mapala Unand. Sedangkan saya sendiri menikmati kuliner di Kota Padang. Kapan lagi makan masakan Padang “asli” ☺.  Dan pernah ikut mas Adi 93 ke Pasar Atas/Bawah bukit tinggi, dimana saat itu disana banyak dijual jaket bulu angsa dan bahkan ada yang berbahan Gore-tex dengan harga murah buat kami saat itu.

Karena kami cukup lama tinggal di Mapala Unand, maka kami pun cukup dekat dengan teman-teman Mapala Unand, baik yang cewek maupun yang cowok. Teman-teman Mapala Unand sendiri tentu senang kedatangan teman dari jauh. Jadi kami tiap malam setelah makan, kegiatannya sama seperti di kalau di sekret Palapsi, ya nyanyi, main kartu dll.  Namun karena adanya jam malam di kampus, maka teman-teman yang cewek, sudah harus pulang sebelum pukul 21.00. Jika memang masih ingin ngobrol lagi ya harus keluar kampus. Bahkan Wahyu “kenthos” 96 pernah dapat kiriman makanan dari temen cewek Mapala unand yang saya lupa namanya, diatas jam 21.00 sehingga harus keluar kampus untuk ketemu dan ambil kiriman makanannya. Jadi kita juga harus mengikuti aturan yang ada di situ. Dan pada akhirnya cewek teman dari Mapala Unand juga ikut bergabung pada pendakian Gunung Kerinci. 

Hal itulah yang membuat saya terkesan dengan ketaatan mahasiswa/mahasiswi pada aturan kampus yang tentu merupakan turunan dari adat kesopanan masyarakat minang. Semoga adat dan budaya di bumi minang masih terjaga sampai saat ini. Sehingga negara Indonesia tetap kaya akan budaya dan adat dari semua suku yang ada.

Depok,  20 Juni 2020 

Ditulis untuk Lustrum 45 PALAPSI UGM… 

Never Give Up!!!

Beni Wido Hendratmo / 2660/PLP

Sebuah Eksplorasi Tanpa Garam

Jum’at, 25 Maret 2011

Ini adalah catatan perjalanan selama dua hari operasional caving, anggotanya adalah Anggit, Siti, Aksan, Dhea KDR (kepanjangan dari Kediri, atau Kadir, sama saja) dan tentu saja saya.

Bagi yang belum tahu, Luweng Jomblang terletak di Desa Jetis, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul. Kira-kira satu setengah jam perjalanan memakai motor dari Jogja. Bagi yang sudah tahu, ya, Jomblang masih di situ, belum direlokasi ke tempat lain yang lebih subur dan sejuk.

Pukul lima sore kami berangkat dari sekret. Tidak ada kejadian yang begitu menarik selama perjalanan, jadi langsung skip saja ya. Sekitar setengah tujuh kami sampai di rumah Pak Brewok, basecamper Luweng Jomblang yang tidak brewokan dan tidak terlihat tanda-tanda pernah memiliki brewok, entah dari mana sebutan itu berasal.

Begitu kami sampai di halaman rumahnya, lha kok banyak kursi, lha kok terang banget, lha kok ada mimbar segala. Oalah ternyata mau ada pengajian di rumahnya. Karena tidak enak dan takut menggangu, juga fakta bahwa penampilan kami sama sekali tidak layak untuk menghadiri sebuah pengajian, akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju pondok bambu yang baru dibangun di sebelah entrance.

Jarak dari rumah Pak Brewok menuju entrance kira-kira 10 menit memakai motor, melewati ladang yang di hari cerah biasanya bisa dinikmati. Tapi malam itu? Demi Tuhan, benar-benar 10 menit yang marmos! Jalannya yang tidak rata dan berlumpur menjadi semakin parah dan licin karena seharian hujan. Saya yang membonceng Siti berkali-kali terpeleset dan berkali-kali misuh (tapi hanya dalam hati, karena takut kualat dan dipisuhin balik sama sesuatu-yang-tidak-terlihat-tapi-kamu-tahu-apa).

Terima kasih Tuhan akhirnya kami terbebas dari the long and winding road plus berlumpur itu. Kami sampai di pondok bambu, yang mirip seperti pondok tempat orang biasanya mancing di pinggir kolam: nyaman dan bikin ngantuk.

Saat kami sedang beristirahat, datang seorang pria bernama Mas Nafis, menghampiri kami dan ikut ngopi di pondok. Ia adalah orang HIKESPI yang saat itu sedang melakukan proyek penelitian di beberapa gua di Gunung Kidul. Kami ngobrol ngalor-ngidul dan tahu-tahu topik pembicaraan sampai pada soal penelitian. Macak akademisi saja.

“Aktivitas caving itu komplit, hampir semua cabang ilmu bisa diterapkan di sini,” katanya.

“Semua kecuali psikologi kali ya, Mas?”

“Eh, siapa bilang? Pernah gak kalian meneliti karakteristik masyarakat yang tinggal di daerah karst dan dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah lain? Di pinggiran sungai atau gunung misalnya. Berdasarkan pengamatanku selama ini, masyarakat yang tinggal di daerah karst itu karakteristiknya sama, dari mulai yang tinggal di Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur semua punya benang merah. Kalian bisa neliti itu.”

Benar juga ya. Lumayan, bisa jadi ide untuk judul skripsi yang, tentu saja, jika tidak malas ngerjainnya. Tak lama kemudian matahari terbenam dan Mas Nafis kembali ke desa, sementara kami bersiap untuk makan malam. Seksi konsumsi kali ini adalah Anggit dan Aksan. Di Palapsi, biasanya tak jadi soal jika post masak-memasak ini diisi oleh laki-laki semua. Tapi, kali ini saya berpikir mungkin situasi akan menjadi lebih baik jika ada perempuan yang menemani mereka dalam tugas ini. Karena, bayangkan, mereka lupa membawa garam!

Kalian pasti pernah mendengar peribahasa “bagai sayur tanpa garam” yang konotasinya kira-kira adalah sesuatu yang hambar atau kurang pas. Tapi percayalah, bagi saya peribahasa itu maknanya adalah “sesuatu yang mengerikan!”. Mereka memasak tempe goreng terhambar yang pernah saya makan, ditemani sayur bayam yang dibumbui bawang putih dan cabai merah yang luar biasa banyak sebagai kompensasi ketiadaan garam.

Rasanya? Mengerikan. Lebih tidak enak dari jahe instan yang mereka seduh dengan air semi-hangat saat itu. Dhea, perempuan santun asal Kediri yang biasanya selalu bersikap sopan dan lemah lembut saja sampai bilang, “Mas, mau bunuh orang, ya?”. Biasanya saya tidak terlalu tertarik dengan lelucon cheesy semacam itu, tapi kali ini saya mengamininya. 

Selama operasional di Palapsi, saya sudah merasakan berbagai jenis makanan, dari mulai yang sangat enak semacam daging ham dan mayones yang dibeli seorang kawan yang salah membaca anggaran belanja sehingga dia membeli berbagai bahan masakan yang harganya berlipat-lipat dari anggaran (dan akhirnya dia yang menanggung semuanya), sampai makanan yang tidak akan pernah mau saya sentuh sama sekali dalam kondisi normal.

Contohnya adalah beras rendam yang saya makan waktu survival di Kalikuning dua tahun yang lalu. Disebut beras rendam karena itu adalah beras yang kami rendam dalam air dingin semalaman dan berharap besok paginya akan berubah menjadi nasi, tapi ternyata tetap saja berbentuk beras, dengan kuah. Semua terjadi karena kelompok saya gagal menciptakan api dari kayu yang basah dan membuat saya semakin percaya Avatar hanya ada di GlobalTV.

Maka, begitulah, ketika saya bilang masakan mereka tidak enak, Anggit mencoba menghibur dengan bilang, “Coba bayangin beras rendem waktu itu, Bi. Ini jauh lebih baik.” Benar juga, pikir saya. Kemudian saya kembali menyuap sayur itu, sesuap, dua suap. Hmm sepertinya saya lebih suka beras rendem.

Sabtu, 26 Maret 2011

Dhea sang project officer membangunkan kami jam setengah lima pagi, bukan waktu yang nyaman untuk bangun ketika sedang enak-enaknya bergulung dibawah sleeping bag. Tapi toh kami harus bangun, memasak sarapan dan menyiapkan alat untuk eksplorasi. Saat bangun sudah ada beberapa teman dari Satu Bumi (Teknik UGM) yang juga akan melakukan penelusuran. Bedanya, mereka menggunakan jalur 40 meter, sedangkan kami menggunakan jalur VIP, 20 meter scrambling dan 20 meter SRT.

Kali ini para seksi konsumsi memasak sarden, dan tahu putih yang direbus dalam kuah sarden. Setidaknya kali ini ada rasa asinnya, walaupun sebenarnya tidak begitu enak juga, tapi alhamdulilah.

Kemudian kami menyiapkan alat, ganti baju, stretching, dan siap untuk melakukan penelusuran. Seharusnya penelusuran kali ini bisa menjadi penelusuran yang modis dan enak dilihat karena kami semua memakai coverall (walaupun semuanya adalah barang warisan dan pinjaman). Tapi Anggit merusak semuanya dengan berpakaian seperti cool kid yang akan pergi ke Timezone: kaos, celana jeans, dan sepatu kets!

“Nggit, gak sayang itu entar sepatumu jebol?”

“Gak papa, ini juga aku nemu.”

Yang bertugas memasang anchor adalah Aksan dibantu oleh Anggit. Sambil menungu mereka anchoring, saya, Siti, dan Dhea duduk-duduk di bawah pohon. Saya mengubah posisi dari duduk menjadi berbaring. Entah apa yang membuat saya mengantuk saat itu, apakah angin, pohon rindang, langit biru, atau wangi jeruk dari spray anti-nyamuk, yang jelas saya berhasil tertidur dengan cukup pulas.

Ketika dibangunkan, lintasan tali sudah siap dituruni, lantas saya pun memasang SRT set. Beberapa waktu kemudian kami berlima sudah sampai di bawah. Lalu kami berjalan menuju Luweng Grubug. Luweng Jomblang dan Luweng Grubug dihubungkan oleh terowongan besar dan berlumpur bernama bat tunnel. Di terowongan itu sudah terdengar suara aliran sungai dari Luweng Grubug.

Ah, Luweng Grubug. Ini sudah kelima kalinya saya ke sana, tapi tetap saja dibuat merinding oleh pemandangan itu. Cahaya mentari yang jatuh dari ketinggian 85 meter dan tepat menimpa batu gourdam raksasa berwarna putih. Apalagi kemarin kami sampai disana pada pukul dua belas tepat. Prime time, ketika matahari sedang berada di puncaknya. Pemandangannya mirip dengan cahaya surga jatuh dari langit (tentu saja surga dalam film-film, surga yang asli sih mana saya tahu).

Lalu kami meneruskan eksplorasi upstream melawan derasnya arus sungai bawah tanah yang sedang banjir. Di tengah perjalanan kami makan snack. Mas-mas seksi konsumsi mengeluarkan keresek hitam dari tas berisi … dua bungkus pilus ukuran besar!

“Loh, kalian bawa pilus? Kenapa kemaren gak dikeluarin aja buat temen nasi gantiin garem?”

Dengan wajah polos, sambal sedikit memiringkan kepala, Anggit hanya menjawab, “Heh?”

“Allahuakbar! Lupakan, bro, lupakan.”

Sekitar dua jam kemudian kami mencapai sump. Sump Jomblang berbentuk ruangan besar dengan kolam yang tak kalah besar di bawahnya. Setelah berenang-renang sebentar, kami menyanyikan hymne Palapsi sambil menggigil karena lama-lama dingin juga di dalam air. Pulangnya kami tinggal nginthir mengikuti arus sampai keluar.

Pukul sembilan malam kami meninggalkan Semanu, makan bakso dulu di Wonosari. Di tengah perjalanan saya yang ngantuk setengah mati meminta switch posisi dengan Siti sebagai driver dan passenger. Cara Siti mengendarai motor seperti anggota geng Nero yang sedang mengejar musuh: ngebut dan sangar. Akhirnya saya tidak jadi ngantuk karena sibuk memegang ransel dan membetulkan posisi carrier supaya tidak jatuh. Kami sampai di Jogja pukul setengah dua belas dan disambut oleh Mas Ketua Palapsi yang ganteng di kampus.

Oke, cukup sekian, semoga perjalanan kemarin dan tulisan ini bermanfaat. Never Give Up!

Abiyoso – 2007

My First Upper Progo

Ini sungai favoritku! Aku sangat bersemangat ketika sampai di sungai ini. Mungkin karena begitu banyak memori yang kuhabiskan bersamanya, haha. Tempat pertama kalinya aku merasakan menjadi kayaker arus deras, bukan sekedar kayaker danau lembah UGM. Dan pertama kalinya juga aku trauma dengan sungai karena telah menganyutkanku melewati dua jeram hingga dayungku patah.

Hari ini adalah pertama kalinya mengarungi sungai ini sampai finish, kalau dulu kan cuma sampai jeram Dung-Dung aja. Yak bermodalkan tujuh kali menuruni sungai Elo, aku memberanikan diriku untuk mengarungi sungai ini, bersama tim air yang beranggotakan Rahmun, mas Afiq, Yoga, Hakam, mas Endro, serta mas Adam dan mas Uji sebagai skipper.

Kami  memulai pengarungan ini dari jembatan Plikon. Di jeram jembatan Plikon, kami latihan ferrying dan C-Turn. Setelah itu, langsung turun lalu ulang jeram di jeram Dung-Dung. Sambil ulang jeram, tim perahu dan kayak bergantian untuk mendokumentasikan. Dari Dung-Dung kami lanjut ngarung lagi lalu berhenti untuk scouting di Puri Asri.

Setelah itu kami lanjut ngarung sampai di jeram Little Budhil dan scouting disana. Jeram ini karakteristiknya banyak drop, butuh banyak manuver dan cukup panjang. Little Budhil ini memang maskotnya Progo Atas, paling bikin deg-degan  soalnya. Saat kami sedang scouting, ada perahu-perahu tamu melewati jeram ini, lalu ada satu perahu yang isinya hanya 4 orang dan tiba-tiba terbalik dan tumpah didepan mata kami. Baru kali ini aku menyaksikan hal seperti itu, lalu berjanji dalam hati untuk melewati jeram ini dengan sebaik-baiknya.

Tiba saatnya kami bersiap melewati jeram ini. Perahu turun duluan lalu aku menunggu perahunya parkir di bawah baru ikut turun. Melewati jeram ini butuh power dayungan yang lebih dari powerku biasanya. Drop demi drop kulewati dengan agak sukses, hingga di reversal ending yang harusnya kuhindari malah kuambil dengan ragu-ragu, yang menyebabkan kayak nya terbalik. Saat itu aku panik banget hingga tidak mencoba ngeroll, aku memutuskan untuk melepas sprayskirt dan berenang di sisa jeram ini. Beruntungnya yang lain sudah langsung sigap me-rescue dengan perahu dan aku bisa langsung menepi. Melewati Little Budhil untuk pertama kali dengan memalukan, aku ingat kalimat pertama yang diucapkan mas Uji ketika aku sudah menepi, “Huu mau banget sih di-rescue.” Memang sih harusnya jangan sampai terbalik, kalaupun terbalik harusnya kan sudah bisa ngeroll, tapi yasudahlah sudah terjadi, besok-besok akan kuperbaiki.

Setelah itu kami melewati jeram yang termasuk cukup besar di sini yaitu jeram pabrik kulit dan jeram Rock ‘n Roll. Kata mas Uki sih jeram terbesar di Progo atas cuma tiga jeram itu, tapi ada jeram yang menurutku sangat panjang dan benar-benar menguras tenaga. Nama jeramnya adalah jeram Astagfirullah. Rasanya sesuai dengan namanya sih.

Akhirnya kami bernafas lega karena sudah sampai di finish. Selama down river sempat diguncang arus beberapa kali hingga kayak nya miring tapi untungnya tidak sampai terbalik. Progo Atas tetap menjadi sungai favoritku, dan hari ini aku sudah berhasil mengarunginya sampai finish.

Never Give Up!

Yogyakarta, 4 Januari 2014

Chung – PLP 4262

*di edit seperlunya pada 2 Juni 2020