Tim Expedisi Kecil Bali – Palapsi 1995, berangkat dari Stasiun lempuyangan Jogjakarta pada hari Sabtu pagi, saya tergabung dalam Tim Panjat Tebing yang akan melaksanakan pemanjatan dengan target buka jalur di tebing sea cliff di Ulu watu. Cerita bermula dari setelah seluruh tim turun dari kereta di stasiun Banyuwangi, dan naik kapal Ferry menuju pelabuhan Gilimanuk. Di pelabuhan gilimanuk telah menunggu mas Didit Ambara yang bertugas sebagai tim pendahulu karena dia berdomisili di Bali, dengan menyediakan bis untuk membawa tim menuju basecamp di Universitas Udayana Denpasar Bali. Sebagai catatan bahwa Tim Expedisi kecil Palapsi ini mendapat support dari Universitas Udayana karena ada bantuan dari pak Ub (kalo nggak salah nama panjangnya mas Supriyadi angkatan 74) alumni psikologi juga.
Setelah tim mendarat dan bertemu dengan mas Didit serta semua sudah naik Bis, sebuah dialog terjadi “Ono sing iso ngancani aku ora?” Tanya mas Didit. Ternyata untuk memastikan bis penjemput sudah siap, mas Didit sudah stand by di gilimanuk sejak sore hari karena rumahnya yang hanya di daerah Negara, yang jaraknya hanya 30an kilometer atau sekitar 45 menit saja, maka dia naik motor. Nah… Sekarang sudah jam 9 malam dimana gilimanuk ke Negara harus melewati daerah hutan wisata yang pastinya sudah gelap dan sepi, maka mas Didit mencari teman untuk menemaninya naik motor pulang ke Negara. Akhirnya saya yang menyanggupi untuk menemani mas Didit, karena Tim Expedisi Panjat Tebing baru akan mulai pada hari Senin, sehingga saya merasa cukup waktu bila pada hari minggu saya baru akan diantar ke Denpasar, serta informasi bahwa transportasi dari Denpasar ke Ulu watu tidak ada di hari minggu. Dan expedisi saya dimulai dengan menguji nyali menembus gelapnya jalan propinsi dari Gilimanuk ke Negara yang menembus hutan, tanpa penerangan jalan yang cukup, serta sepeda motor Honda Super Cup warna hitam dengan lampu yang jauh lebih terang dari nyala lilin ulang tahun. Alhamdulillah … Kami berdua selamat sentosa sampai rumah mas Didit di Negara. Dan tidurlah kami.
Kurang lebih jam 6 pagi, mas Didit dibangunkan oleh ayahnya, karena ada telpon. Ketika kembali ke kamar saya bertanya “sopo sing telpon?” “Agis”, jawabnya. “Ngomong opo?” Tanyaku lagi …. Jarene Tim budal saiki. Gepenk nek iso jam 9 tekan Denpasar”. Kowe budal kapan ? Tanyanya lagi …. Rencanane Senin. Jawabku sambil masih setengah sadar … Oh yo wis berarti sing budal tim e Agis…dan kita tidur lagi.
Jam 9 kami berangkat ke Denpasar. Sampai Udayana jam 10.30 langsung menuju ke sekretariat Mapala Universitas Udayana, dan bertemu tim gunung yang belum berangkat. “Tim Tebing nang ndhi mas ?” tanyaku ke mas Antok. “Lha kowe mau kan wis dikandani nek tim tebing budal saiki mergo ada transport ke Ulu watu tapi maksimal sampai jam 12.00”. Jadi mau jam 9.00 wis do budhal. Badhallaahhh…. Ternyata telpon mas Agis tadi memberikan informasi kalo semua tim berangkat sekarang dan tim tebing sudah berangkat tadi jam 9 karena mengejar transportasi yang cuma sampai jam 12.
Melihat waktu sudah jam 11, saya segera mencari informasi dimana terminal tempat transportasi ke Uluwatu tersebut, dan langsung diantar teman dari Udayana yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Sampai Terminal Ubung cuma tersisa satu kendaraan elf yang bertuliskan Ubung – Uluwatu. Alhamdullilah, naiklah saya dan sebentar kemudian berangkatlah mobil itu. Di dalam mobil cuma ada 3 orang, saya, seorang ibu dan anaknya. Sampai di daerah yang saya lupa namanya, yang mungkin sekarang adalah jalur menuju pantai Pandawa, mobil berhenti dan turunlah ibu serta anaknya itu. Si Sopir bertanya kepada saya, “Bli mau kemana?” “Ke Uluwatu”, jawabku. “Oh ini penumpangnya sudah habis, saya mau pulang. Bli sampai sini saja ya, sudah dekat kok Uluwatunya. Paling jalan kaki tidak sampai 1 jam atau kalau ada taxi, naik taxi saja”, kata si sopir. Waduuuuh…nego untuk mengantar sayapun gagal, karena si Bapak ini mau ada acara di Pura. Ya sudahlah…PALAPSI…Never Give Up, masak jalan 1 jam aja nggak kuat. Wis tekad bulat…jalan kaki!
Setelah berjalan 30 menit, jalan makin menanjak dan makin sepi. Setelah istirahat yang ke-4 kalinya, walaupun pemandangan bagus, rasa gamang mulai menyelinap. “Salah dalan ora yo iki?”, tanya saya dalam hati. Lah saya ke Bali pasa jaman SD, itu juga nggak ke Uluwatu. Akhirnya walau jalan terus tapi mata mulai mencari tanda-tanda kehidupan, karena daerah makin sepi. Syukurlah saya melihat sebuah papan penunjuk jalan…Pura Uluwatu 10km. Bajindul…isih adoh tenan.
Saat sudah mulai niat mencari-cari tumpangan orang yang lewat, Alhamdullilah ada taxi gambar burung warna biru yang meluncur turun dari arah depan, langsung saja saya hentikan. Untuk pak Sopirnya mau mengantarkan saya ke Pura Uluwatu, walau si bapak Sopir ini sempat bertanya-tanya, mau ngapain sore-sore ke Pura karena Pura sudah tutup. Dan ketika saya bercerita kalau saya mau panjat tebing di Sea Cliff Uluwatu, si bapak ini memandang dengan wajah yang entah merasa aneh, entah merasa sangsi, entah takut. Saya tidak peduli karena yang penting saya sampai Uluwatu dan bertemu dengan teman-teman team Tebing yang lain.
Alhamdullilah, turun dari taxi saya langsung melihat mas Giri, Mbak Galuh, Mbak Endah, Nuning, serta Mas Rahmat lagi duduk di depan kantor pengelola dan mereka langsung menyambut saya juga dan sambutan dengan cara militer juga diberikan oleh mas-mas yang membawa ransel tentara dengan panci, misting, jerigen, dan lampu petromaks terikat di luar ranselnya. Dia adalah the one and only “Mas Al Bobby”
“Wis ndang kono kulonuwun ndhisik”, kata mereka. Sekilas saya melihat teman-teman itu sudah menggunakan selendang kuning di pinggangnya. Saya segera memasuki Pura dan menemui Bedande/Pendeta di Pura itu seraya minta ijin untuk berkegiatan di sekitar Pura. Dengan bahasa Bali yang saya tidak mengerti, Beliau meminta saya untuk ikut berdoa sembari Beliau menyiapkan segala sesuatunya. Dan saya mengikuti ritual yang dilaksanakan. Sampai pada akhirnya, saya diberikan sekuntum bunga kamboja yang tadi dipakai untuk mencipratkan air ke saya dari empat penjuru. Dengan bahasa isyarat, beliau meminta saya untuk menyimpan bunga itu. Oke…ya saya simpan nggak ada salahnya juga. Done
Sampai di luar Pura, kembali bertemu team dan mereka mentertawakan saya karena saya keluar dengan tempelan beras di pelipis dan dahi, serta selendang yang lain. Kenapa mereka tertawa, karena ternyata mereka sebenarnya meminta saya untuk kulonuwun ke kantor pengelola, bukan ke Pura. Wolla…semprul!
Malam menjelang…setelah dari acara kulonuwun itu, kita sempat untuk survey sekilas dan mencari lokasi untuk mendirikan camp. Dan ternyata malam di area hutan di atas tebing Uluwatu yang saat itu masih sangat sepi, sangatlah syahdu. Suara anjing menggonggong di kejauhan dan binatang-binatang malam dipadu dengan deburan ombak menabrak tebing serta langit bersih berbintang yang saking banyaknya sampai menyerupai nebula membuat acara makan malam dan diskusi untuk persiapan besok pagi menjadi sangat indah, hingga sampai saatnya tidur.
Hari Pertama
Survey tebing dengan metode top rope dilakukan untuk mencari jalur yang tepat. Team survey adalah saya, Mas Rahmat, mas Al dan mas Giri. Target adalah tebing seacliff yang langsung berbatasan dengan laut. Hingga siang hari belum ketemu tebing yang cukup keras untuk dipanjat, rata-rata batuannya adalah limestone atau batu kapur. Dan ternyata siang hari di atas tebing Uluwatu ini sangatlah panas yang membuat team survey terpaksa beristirahat dulu karena kulit terasa terbakar saking panasnya. Jam 15 kita mulai lagi survey, ke arah yang lain, yaitu ke arah Pura dan akhirnya menjelang sore, kita putuskan untuk membuat jalur di tebing yang tidak langsung berbatasan dengan pantai dan laut, tetapi masih ada satu teras sebelum sampai ke laut. Dan kita mendapatkan 2 (dua) calon jalur, sehingga kita mentargetkan membuat jalur putra dan jalur putri.
Hari kedua
Jalur Putra selesai digarap oleh mas Giri, mas Al, saya dan mas Rahmat. Dan jadwal hari itu team Putri yang jaga camp dan belanja. Lumayan tebing setinggi kurang lebih 50 meter berhasil dipetakan dan dibuat jalur. Menjelang sore, ada 2 orang bule dari Canada yang datang karena tertarik menyaksikan kita yang sedang mencoba-coba ulang jalur yang baru selesai dibuat. Mereka akhirnya minta ijin untuk mencoba, dan ternyata mereka memang punya hobby panjat dinding di negaranya sana, dan minta ijin untuk besok datang lagi untuk bermain bersama kami. Malam harinya cuaca tetap cerah, hanya dini hari hujan lumayan deras. Dan kita hanya bisa terlelap di tenda, kecuali mas Rahmat yang tanpa kita sadari masih tertidur di tikar di luar tenda saat hujan tersebut, tanpa terbangun sedikitpun, sampai kami harus menyeretnya masuk ke tenda.
Hari ketiga
Pembuatan jalur putri, oleh mbak Galuh, mbak Endah (alm) dan Nuning. Saya dan mas Rahmat jaga camp, mas Giri dan mas Al belanja. Di hari ketiga ini ada dua kejadian yang menarik, selain terselesaikannya jalur putri oleh mbak-mbak pemanjat tangguh PALAPSI itu. Pertama, dari posisi camp, kami dapat melihat lokasi tebing yang menjadi target jalur putri walaupun harus dengan teropong, dan sesaat setelah tim putri siap, tiba-tiba mereka terlihat melambai-lambaikan tangan seperti meminta tolong. Bergegas saya berlari ke arah lokasi. Sebagai gambaran, tebing yang akan dipanjat berada dibawah jalan setapak, sehingga harus memutar sedikit untuk turun ke start pemanjatan. Ketika saya sampai tepat diatas tebing yang akan di buat jalur putri tersebut, dimana tali top rope telah terpasang sebagai pengaman, ternyata tali itu sedang di tarik dan digulung oleh seekor monyet besar seperti orang hutan besar, bersama 2 ekor anaknya. Waduuhhh!!!, di jalan setapak yang sebelah kiri hutan, dan sebelah kanan jurang didepan orang hutan dengan keluarganya, lari balik juga takut membuat mereka panik dan menyerang, akhirnya saya cuma diam. Tidak disangka, Orang hutan besar itu tampak takut, dan dengan pelan-pelan kembali mengulur tali karmatel yang tadi dia gulung, serta bergegas menggendong anak-anaknya dan kabur masuk kehutan. Dan akhirnya pembuatan jalur berhasil dengan sukses dan aman. Kedua, kejadian yang tidak penting-penting amat, hanya lumayan membekas bagi mas Giri dan mas Al, dimana sepulang dari pasar, mereka mencoba jalur lain untuk mencapai lokasi camp, dimana ternyata mereka malah masuk ke arah pantai yang diportal dan dijaga. Dengan berbekal PD dan tampang lokal serta membawa buah2an dan sayuran hasil belanja, mereka malah diijinkan masuk…mungkin dipikir warga lokal. Dan yang paling menarik adalah itu adalah area Private Beach, alias pantai tertutup dimana isinya bule-bule yang berjemur dengan seluruh tubuh bisa terkena sinar matahari tanpa ada yang tertutupi.
Hari keempat
Pagi sampai siang kita beristirahat sejenak, dan berencana untuk mencoba lagi jalur putra dan putri setelah makan siang. Dan ada kejadian yang agak aneh lagi, yaitu tiba-tiba Nuning yang sedang tidur-tiduran di hamock memanggil saya, “Penk..penk… Mrene o… Iku ono ulo nang ngisor hamock ku. Dan betul ada seekor ular yang kemudian merayap pergi saat saya datang. Yang aneh adalah ular itu berciri seperti ular laut yang bentuk ekornya seperti sirip. Yaah.. Mungkin saya salah lihat saja. Yang penting ular itu pergi. Setelah makan siang, kami kembali mencoba jalur putra dan putri, dan diikuti pula oleh dua bule Canada yang kemarin pernah mencoba jalur putra.
Hari kelima
Saatnya kami kembali ke denpasar untuk berkumpul kembali dengan tim-tim divisi lain.
Expedisi ini sangat berkesan karena selain expedisi pertama saya bersama Palapsi, juga merupakan expedisi pertama dan terakhir saya bersama almarhumah mbak Endah Muchlisah A (semoga saya tidak salah menuliskan namanya) yang pada akhir tahun, di tahun yang sama telah menghadap Allah SWT.
Note : semoga tidak ada kesalahan dalam detail kejadiannya.
Indra Priyahutama a.k.a Gepenk – 2446/PLP